Makalah Perencanaan Pendidikan tentang STAKE HOLDERS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
![]() |
TENTANG
“ STAKE HOLDERS DALAM PENDIDIKAN ISLAM ”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Perencanaan Pendidikan
DOSEN PENGAMPU :
AHMAD KHASBULLAH,M.Pd.I
OLEH :
·
ALFIAH
·
IMAM TURMUDI
|
JURUSAN : MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS : TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AS-SHIDDIQIYAH
LEMPUING JAYA KAB. OKI SUM-SEL
TAHUN AKADEMIK 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami
limpahan rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada junjungan kita nabi
Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun dengan tujuan pertama memahami dan
mendalami STAKE HOLDERS DALAMPENDIDIKAN ISLAM . Kedua memenuhi tugas diskusi
dan pembuatan makalah secara kelompok. Adapun manfaat makalah ini adalah
sebagai wahana pembelajaran Perencanaan
Pendidikan agar dapat dipelajari oleh seluruh mahasiswa / mahasiswa
khususnya jurusan Manajemen Pendidikan Islam semester 4.
Kami menyadari
bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari sempurna, karena
itulah kritik dan saran yang membangun dari dosen dan teman-teman sangat kami
harapkan.
Lempuing Jaya, Maret 2015
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Stake Holder dalam Pendidikan
islam.............................................. 3
2.2 Realitas Masyarakat Muslim
Masa Kini............................................ 4
2.3 Perkembangan masyarakat global..................................................... 7
2.4 Kopetansi Kelulusan Pendidikan
islam yang dibutuhkan................. 10
2.5 Rancangan Kelulusan........................................................................ 12
BAB III PENUTUP....................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Konsep stakeholder kini menjadi bagian tak terpisahkan
dari pemikiran manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, utamanya dalam upaya
pemberdayaan pendidikan. Dalam tradisi lama stakeholder dipahami sebagai orang
yang menanamkan investasi atau pemilik sebuah bisnis. Akan tetapi kini
pengertian stakeholder tidak semata pada individu tapi bisa juga kelompok. Oleh
karena itu akhir-akhir ini dikenal bahwa stakeholder adalah individu atau
kelompok yang memilik satu atau lebih jenis-jenis usaha (bisnis) di mana
stakeholder bisa terdiri dari berbagai fungsi; pelaksana, pemegang kebijakan,
pengaman dan pelaku bisnis itu sendiri.
Stakeholder berasal dari dua kata
stake dan holder. Stake berarti to give support to sedangkan holder berarti
pemegang. Jadi stakeholder pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang
menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan atau lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan itu berupa sekolah maka stakeholderya adalah :
Birokrasi pendidikan (dinas pendidikan ), pengawas, kepala sekolah, guru-guru,
orang tua, komite sekolah, dewan sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia
dunia indsri. Dengan kata lain stakeholder adalah orang-orang adalah
orang-orang, atau badan yang berkepentingan langsung atau tidak langsung
terhadap kegiatan pendidikan di sekolah
Stakeholder sekunder didefinisikan sebagai pihak yang
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka tidak terlibat dalam
transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk kelangsungan hidup
perusahaan.’ Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu.
Istilah stakeholder kemudian mengklasifikasi beberapa
bagian yang eksistensinya saling terkait dan memberi pengaruh, yaitu: Owner
merupakan seorang entrepreneur atau lebih yang menghasilkan suatu ide tentang
suatu produk atau layanan. Seorang entrepreneur selalu bersikap kritis dalam
membangun suatu bisnis baru karena mereka membuat prduk baru yang berdasarkan
selera konsumen. Selain itu, owner juga memiliki definisi sebagai
seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki wewenang khusus untuk memegang,
menggunakan, menikmati, menyampaikan, mengirim dan mengatur suatu asset
atau property .
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan Stake Holder dalam
Pendidikan islam?
2.
Bagaimana Realitas Masyarakat Muslim Masa Kini?
3.
Bagaimana Perkembangan masyarakat global?
4.
Apa Kopetansi Kelulusan Pendidikan islam yang
dibutuhkan?
5.
Bagaimana Rancangan Kelulusan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 STAKE HOLDER DALAM PENDIDIKAN
Memperhatikan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa
stakeholder dalam pendidikan Islam adalah berbagai pihak yang memiliki hubungan
langsung maupun tidak langsung dengan sukses tidaknya proses pendidikan yang
berlangsung. Pihak-pihak tersebut di antaranya adalah kepala sekolah, guru,
wali murid, pemerintah, para tokoh dan masyarakat.
Dengan kata lain ketika kita berbicara tentang
stakeholder sebenarnya kita sedang dituntut untuk mampu menciptakan suatu
lembaga pendidikan lengkap dengan segala sistem, perangkat dan atribut yang
dapat memenuhi harapan masyarakat pada umumnya dan pihak-pihak yang
berkepentingan atau terkait dengan pendidikan tanpa menanggalkan nilai-nilai
dasar kebenaran yang berbasiskan iman.
Dengan kata lain pendidikan tidak bisa berjalan secara
“egois”. Pendidikan harus menjalin komunikasi, hubungan dan jaringan dengan
berbagai pihak untuk mendukung dan mensukseskan tujuan dan idealitas yang
diharapkan. Apalagi dalam konteks pluralitas budaya bangsa Indonesia.
Dalam situasi global seperti sekarang dimana dunia
memasuki era pasar bebas, maka pendidikan diharapkan mampu untuk menjawab
tantangan ini. Jika mengacu pada dimensi sejarah tentu stakeholder harus
memiliki kemauan kuat untuk hidup di atas landasan tauhid dengan
sebenar-benarnya. Terkait dengan hal ini momentum hijrah adalah perihal yang
sangat urgen untuk kita perhatikan yakni kebersihan hati dari segala interes
duniawi.
Kemudian jika ditinjau dari sisi fungsi keberadaan
stakeholder nyaris serupa dengan fungsi pemimpin. Dengan demikian stakeholder
bagaimanapun harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk mewujudkan
syariah Allah di muka bumi dalam setiap aspek kehidupan berdasarkan pada
konsentrasi yang dibangun. Dengan kata lain jika kita fokuskan
pembicaraan pada masalah pendidikan, maka stakeholder pendidikan dalam hal ini
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mewujudkan idealitas
pendidikan yang Islami.
Selain itu juga harus memiliki mental kstaria, artinya
stakeholder konsisten dengan kebenaran nilai-nilai Islam tanpa sedikitpun
berencana apalagi membuat suatu program yang berlandaskan hawa nafsu (QS. Shaad
: 26). Jika demikian stakeholder dituntut untuk memahami Islam sebagai keyakinan
sekaligus mengerti strategi pemenangan, utamanya di era di mana globalisasi
telah siap menghadang idealisme umat Islam yang hendak diwujudkan.
2.2 REALITAS
MASYARAKAT MUSLIM MASA KINI
Membahas realitas muslim saat ini sebenarnya sangat memprihatinkan.
Ditinjau dari segala aspek umat Islam selalu berada di urutan bawah dan belum
ada indikasi akan adanya peningkatan, seolah tak mau beranjak, muslim identik
dengan keterbelakangan. Atas dasar ini beberapa intelektual muslim mencoba
mendiagnosa dan memberikan tawaran alternatif untuk bangkit dari keterpurukan
ini. Di antaranya adalah Syed M. Naquib Al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Seperti dikenal kalangan intelektual modern, Al-Faruqi
merupakan penggagas proyek Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu,
1982) yang mana ia telah sampai pada kesimpulan yang dituliskan dalam karyanya
bahwa akibat dari kemunduran umat Islam, yaitu adanya sistem pendidikan yang
berusaha menjauhkan umat muslim dari agamanya sendiri dan dari sejarah
kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan tersendiri atas agama Islam.
Oleh sebab itu, ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan sistem
pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah
membentuk peradaban Islam yang sempurna. Sementara itu Al-Attas berpendapat
bahwa perlu adanya rekontruksi keilmuan secara total dan mendasar melalui
Islamisasi Ilmu. (www.hidayatullah.com).
Melakukan Islamisasi ilmu khususnya dalam seri manajemen
pendidikan Islam di negeri ini tidaklah mudah. Selain belum adanya ide original
dari pemikir muslim modern tentang manajemen pendidikan Islam pada saat yang
sama secara kultur masyrakat kita masih menganggap hal ini belum mendesak.
Kemudian jika ditinjau dari aspek historis kenegaraan
bangsa ini pernah berada dalam budaya politik yang otoritarian, sehingga secara
psikologis bangsa kita adalah bangsa yang cukup resisten dengan perbedaan,
takut untuk berbeda pendapat dan mengamini filosofi kehidupan yang sebenarnya
harus ditinggalkan. Pemandangan semcam ini dapat kita saksikan pada pola
komunikasi yayasan-yayasan pendidikan. Seperti semboyan zaman edan seng ora
edan ora keduman mengindikasikan bahwa untuk eksis memang harus mengikuti
tuntutan zaman tanpa memperhatikan aspek kebenaran yang berlandaskan
nilai-nilai keimanan.
Dalam prakteknya memang demikian, tradisi suap, korupsi,
kolusi dan nekotisme menjadi suatu praktek yang diamini oleh masyarakat.
Akibatnya sekalipun saat ini sedang bergulir masa reformasi tradisi itu tetap
tidak bisa dilenyapkan. Kasus cicak-buaya yang terbaru adalah bukti nyata dari
eksisnya falsafah hidup yang keliru. Bahkan lebih lanjut setiap kebijakan
diterapkan lebih karena gengsi dari pada isi.
Lebih spesifik dalam dunia pendidikan, Hujair AHS menggambarkan
bahwa krisis kehidupan yang melanda negeri ini berawal dari krisis pendidikan.
Utamanya sejak eksisnya pemerintahan orde baru yang belakangan diketahui banyak
menegasikan aspek kemanusiaan; mengorbankan hak asasi manusia, marginalisasi
nilai-nilai manusia, serta tidak diarahkannya pendidikan untuk terwujudnya
kepentingan manusia yang seutuhnya. Lebih dari itu harus diakui bahwa
pendidikan saat ini masih dan hanya sekedar mengantarkan peserta didik dan
masyarakat pada batas mengetahui dan memahami konsep, sementara upaya
internalisasi atas nilai belum bisa dilakukan secara baik. Kesenjangan antara
ilmu di kelas dengan praktik di masyarakat adalah salah satu bukti. Sebagai
contoh kecil, setiap siswa mengerti akan pentingya nilai-nilai kejujuran, adil,
kreatif, tepat waktu, efisiensi, kompetitif dan sebagainya. Namun dalam
praktiknya hal-hal tersebut belum dapat diterapkan, hanya simbol-simbol dan
tampilan fisik saja yang dijalankan oleh peserta didik.
Hal ini dinilai wajar mengingat paska era indusstrialisasi
secara serentak masyarakat di negeri ini terseret pada upaya penegakan filsafat
hidup positivisme – materialistik dan gaya hidup ekonomi kapitalistik. Ini
terlihat dari perilaku manusia yang cenderung memaksakan kehendak memperoleh
kekayaan material sebanyak mungkin melalui jalan manapun meskipun pada saat
yang sama ritual spiritual tidak ditinggalkannya. Suparlan Suhartono
menyatakan, hal ini bisa terjadi karena didukung oleh lahan subur berupa
kepadatan penduduk dunia dan asumsi kekurangan pangan.
Dari sisi politik bangsa ini sedang dilanda euforia
demokrasi. Padahal secara substansial politik demokrasi tidak ubahnya
absolutisme yang pernah mewujud pada masa Luis XVI di Perancis. Hanya saja di
sini tidak terdapat hirarki atau nasab yang terjadi seperti pada zaman
kerajaan. Akan tetapi kesepakatan para elit untuk memenuhi keinginannya
menjadikan demokrasi sebagai alat efektif untuk meraih kekuasaan. Sebab pada
faktanya yang terpilih selalu para pemegang kekuatan.
Bila kita perhatikan komposisi legislatif non partai,
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hari ini banyak yang berasal dari kalangan elit
di daerah-daerah. Pantas jika disinyalir bahwa di Senayan sering terjadi “money
politics” dalam berdemokrasi, dengan dalih hukum, asas praduga tak
bersalah, Lembaga Penegak Hukum tidak berdaya memberantas korupsi; dan
sebagainya. Semua ini tidak lain karena ada uang di balik perkara atau
peristiwa.
Filsafat hidup positivisme – materialistik ini juga
mewabah dalam dunia pendidikan. Saat ini orang tua lebih menginginkan
putra-putrinya memiliki skill sehingga bisa menjadi seorang dokter, insinyur,
menjadi pejabat, konglomerat dan lain sebagainya, karena profesi-profesi itu
sangat dekat dengan uang. Harapan agar putra-putrinya menjadi orang yang
bermoral, beriman, saleh, dan sebagainya, sudah tidak popular lagi. Karena
semua itu kini diposisikan jauh dari uang, sehingga wajar jika sekolah kini
diserahi tanggungjawab mengelola putra-putri mereka, karena memang sekolahlah
yang bisa mewujudkan harapan mereka.
Sadar akan hal ini sekolah pun mengalami pergeseran
paradigma. Dalam rangka memenuhi kepercayaan masyarakat, pendidikan sekolah
sibuk dengan kebijakan-kebijakan konkret yang menarik simpati. Sistem ranking,
kelas unggulan, sistem evaluasi EBTA dan EBTANAS, dan sebagainya, semuanya
dimuarakan pada kepentingan komersial. Dewasa ini, komersialisasi pendidikan
menjadi ciri khas Lembaga Pendidikan Sekolah baik negeri maupun swasta.
2.3 PERKEMBANGAN
MASYARAKAT GLOBAL
Globalisasi dapat dipahami sebagai proses masuknya ke ruang
lingkup dunia. Selain itu globalisasi juga berarti sebuah istilah yang memiliki
hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan
antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan,
budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak
karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan.
Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan
berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Globalisasi menunjukkan perubahan besar dalam masyarakat
dunia. Apa yang ditunjukkan bukan sesuatu yang ramah-tamah. Bukan sekadar soal
kita menambahkan perlengkapan modern seperti, video, fashion, televisi,
parabola, komputer, dan sebagainya dalam cara hidup. Kita hidup di dalam dunia
yang sedang mengalami transformasi yang luar biasa, yang pengaruhnya hampir
melanda setiap aspek dari kehidupan. Entah baik atau buruk, kita didorong masuk
ke dalam tatanan global yang tidak sepenuhnya dipahami oleh siapapun, namun
dampaknya bisa kita rasakan.
Fenomena tersebut tidak melulu dalam pengertian ekonomi.
Globalisasi juga berdimensi politik, teknologi, budaya dan keagamaan. Akan
sangat keliru, jika menganggap globalisasi hanya berkaitan dengan sistem-sistem
besar, seperti tatanan perekonomian dunia. Globalisasi bukan soal apa yang ada
“di luar sana”, terpisah langsung, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Ia juga
merupakan fenomena “di sini”, yang langsung mempengaruhi sistem kepercayaan dan
kehidupan kita.
Dengan kian merebak dan canggihnya teknologi media,
memungkinkan sebuah masyarakat menyaksikan bentuk-bentuk kehidupan dan sistem
kepercayaan lain yang berbeda. Sebuah masyarakat juga menyaksikan masyarakat
lain dalam macam-macam gaya hidup, orientasi keagamaan yang berlainan, ragam
etnis-suku bangsa, perbedaan bahasa dan sebagainya.
Bahkan, bukan itu saja, globalisasi juga merupakan efek
jarak jauh (time-space distanciation). Maksudnya, apa yang terjadi pada satu
belahan bumi, bisa terjadi efek pada belahan bumi yang lain. Misalnya, teror
bom di Bali dengan serta merta mempengaruhi dunia kehidupan masyarakat di
belahan bumi lainnya. Pada intinya, kehidupan masyarakat global saat ini
dihadapkan pada pluralitas kebudayaan yang saling mempengaruhi, yang tidak
pernah kita bayangkan sebelumnya.
Dengan demikian menjadi satu keniscayaan bagi para
stakeholder pendidikan Islam untuk memahami globalisasi secara mendasar dan
universal. Seperti telah diuraikan sebelumnya globalisasi tidak saja mampu
merubah gaya hidup tapi juga pola pikir bahkan falsafah hidup yang jika tidak
diwaspadai dapat merubah ranah keyakinan generasi muda yang akan datang tak
ubahya kultur Barat yang menegasikan wahyu.
Secara historis globalisasi sarat dengan kepentingan.
Suparlan Suhartono menyatakan bahwa Barat sengaja menjadikan dunia ketiga
sebagai objek pemasaran. Untuk mewujudkan hal ini sedemikian rupa Barat
menjadikan media masa sebagai alat propaganda agar penduduk dunia memiliki sikap
konsumerisme yang tinggi.
Secara umum Globalisasi dapat dikenali dengan beberapa
hal berikut;
·
Perubahan
dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon
genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian
cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita
merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
·
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung
sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh
perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
·
Peningkatan
interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi,
film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita
dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal
yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion,
literatur, dan makanan.
·
Meningkatnya
masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
2.4 KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN ISLAM
YANG DIBUTUHKAN
Sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan jelas
manusia tidak bisa dipisahkan secara hakikat, utamanya apa yang selama ini
dipandang selalu berhadapan, yakni antara idealisme dan pragmatisme. Keduanya
adalah kesatuan yang tidak perlu diperdebatkan apalagi diperhadapkan. Keduanya
saling terkait dan akan mengantar seorang hamba pada puncak kebahagiaan
manakala mampu menempatkan keduanya secara proporsional tentunya melalui konsep
manajemen yang relevan dengan ajaran Islam serta stakeholder yang berjiwa
tauhid.
Dengan kata lain, umat Islam tidak perlu menjauhkan
anak-anaknya dari sains dan teknologi yang mengajarkan skill untuk bisa eksis
dengan aspek keduniaan, namun pada saat yang sama jangan pula upaya untuk
memberi bekal agar mampu bersaing di era global harus melemparkan ranah
spiritual di ruang yang tak berarti.
Dengan demikian bagaimanakah pendidikan Islam dapat
menjalankan fungsinya sebagai wadah kaderisasi umat sangat bergantung dari
komprehensifitas pandangan para stakeholder pendidikan Islam itu sendiri. Perlu
adanya sebuah kesadaran bersama bahwa pendidikan yang ada harus benar-benar
mampu ‘mencetak’ lulusan yang memiliki keimanan yang prima serta skill yang
membanggakan sebagaimana telah dicontohkan oleh para sahabat, perawi hadis, dan
ulama-ulama yang memiliki integritas iman yang kuat serta multi talenta.
Untuk menciptakan lulusan yang mandiri secara ekonomi
misalkan, maka stakeholder dari kalangan usahawan dapat dilibatkan oleh pihak
sekolah dalam menyusun kurikulum yang relevan menghadapi persaingan global di
masa yang akan datang. Sebab bisa jadi banyaknya pengangguran di negeri ini
tidak semata-mata dikarenakan sempitnya lapangan pekerjaan, namun bisa pula
disebabkan oleh rendahnya skill alumni sekolah.
Kemudian dalam konteks pemerintahan Negara Republik
Indonesia, dimana pendidikan diatur dalam UU Sisdiknas maka seyogyanya strategi
yang digunakan untuk mewujudkan semua itu harus bersifat akomodatif terhadap
substansi kandungan UU Sisdiknas. UU Sisdiknas bukanlah penghalang untuk
mewujudkan generasi muslim yang cerdas dan santun. Oleh karena itu komunikasi
politik juga perlu dipikirkan oleh para guru dan pemerhati pendidikan. Agar ide
dari bawah tidak terkesan mereduksi UU dan berbagai permohonan bantuan tidak
atas dasar belaskasihan tapi sebuah kelayakan dan kewajaran.
2.5 RANCANGAN KOMPETENSI LULUSAN
Mengacu pada uraian di atas maka kami mencoba untuk
menyertakan rancangan kompetensi lulusan yang akan kami canangkan.
No
|
Tujuan
|
Program
|
Kegiatan
|
Target
Pencapaian
|
1
|
Profil siswa/i cerdas dan santun
|
Pembelajaran berbasis iptek dan imtaq
|
Integrasi teori keilmuan dan pemanfaatan
media informasi sebagai penunjang pembelajaran
|
Seluruh siswa/i mengerti bahwa sumber ilmu
dari Allah dan pemanfaatan teknologi semata-mata untuk meningkatkan iman dan
taqwa (indikatornya : giat belajar, disiplin dalam beribadah)
|
2
|
Memiliki jiwa kemandirian
|
Pembelajaran langsung (praktik kehidupan)
|
Out bond, bazar, bakti sosial
|
Siswa/I memiliki pengalaman menangani satu persoalan
|
3
|
Peka terhadap tanggung jawab moral
kemasyarakatan
|
Analisis peristiwa aktual
|
melalui forum seminar bulanan/ semesteran
dengan menghadirkan tokoh yang berkompeten
|
Sebagai tugas mata pelajaran Bahasa
Indonesia, siswa dapat menuangkan hasil seminar dalam naskah berbentuk pidato
|
Dengan cara di atas diharapkan siswa/I tidak saja belajar
dengan tradisi menghafal semata.
BAB III
PENUTUP
Pada akhirnya,
sekolah sebagai ujung tombak pendidikan. Walaupun bukan satu-satunya pilihan,
sekolah formal masih memegang peranan penting sampai saat ini. Masih banyak
yang percaya bahwa sekolah merupakan satu-satunya jawaban yang benar dalam
menyelesaikan seluruh urusan pendidikan. Namun setelah sekian lama, urusan
pendidikan malah semakin rumit. Sekolah-sekolah belum betul-betul mampu
mentransformasi sumber daya manusia kita menjadi aset unggul yang bernilai
tambah. Malah semakin banyak tenaga terdidik yang menganggur. Tidak terjadi
link and match antara keluaran sekolah dengan kebutuhan dunia kerja. Apakah
artinya? Artinya sistem pendidikan di sekolah belum mampu menyerap kearifan
lokal, keunggulan daerah, dan dinamika masyarakat sekitarnya. Tidak terjadi
praksis antara satuan pendidikan dengan lingkungan sekitarnya. Sekolah
cenderung arogan dengan teori-teori ilmiahnya. Mereka menjadi steril dan
meremehkan proses aksi refleksi dengan para stakeholdernya.
Diperlukan
sebuah sistem yang membuat sekolah mampu menyerap aspirasi stakeholdernya.
Dunia usaha dan industri di daerah tidak perlu merekrut tenaga kerja dari luar
daerah, jika dunia pendidikan kita mempunyai daya tarik bagi mereka. Penentuan
jurusan di sebuah sekolah seharusnya menggunakan studi kelayakan yang terukur,
sehingga pemetaan kebutuhan tenaga kerja dapat dijawab oleh penyiapan
sekolah-sekolah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Tokoh-tokoh di sekolah
seperti kepala sekolah dan guru perlu mendapatkan penyegaran mengenai
revitalisasi fungsi pendidikan dalam dunia nyata kita sehari-hari. Demikian
pula perguruan tinggi kita. Kampus tidak harus menjadi menara gading. Kebutuhan
daerah terhadap lulusan perguruan tinggi semakin besar seiring semakin
kompleksnya permasalahan di era otonomi ini. Perspektif komprehensif, visioner
dan strategis yang dimiliki para sarjana secara pasti sudah menjadi kebutuhan
daerah untuk mengelola aset-asetnya.
DAFTAR PUSTAKA
Wau, Yasaratodo. 2013. Profesi Kependidikan. Medan: UNIMED.
http://wacanasainsdilibel.blogspot.com/2012/12/stakeholder-pendidikan.html
http://www.tengkukhairil.com/2011/08/silabus-rpp-tata-niaga-pemasaran.html
http://sains-biology.blogspot.com/2011/10/hubungan-antara-sekolah-dan-stakeholder.html
0 komentar: