makalah kaidah fiqhiyah dan pengertiannya
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Untuk menetapkan hukum atas
sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh
para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qurâ an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qurâ an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qurâ an. Dan apabila dalam al-Qurâ
an tidak ditemukan
hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis
telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan
al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut
tidak ditemukan dalam al-Qurâ an dan juga dalam al-Hadis, sebab
al-Qurâ an dan al-Hadis adalah merupakan sumber
hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.
Dalam menghadapi kondisi
yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan
patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab
sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada
lagi penambahan hukum yang bersifat Syarâ
iyyah, hanya saja
untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah
diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan
hukum atas persoalan baru yang timbul.
2.1
Rumusan Masalah
a. Apakah
yang dimaksud dengan fiqih?
b. Massa perkembangan kaidah fiqih?
c. Pengertian kaidah hukum islafiqihm
menurut para ahli?
Bab II
Kidah Fiqih
2.1
Pengertian Kaidah Fiqhiyah
Kaidah dalam bahan Indonesia dikenal
dengan istilah kaidah (sesuai dengan judul makalah) yang berarti aturan atau
patokan.
Secara terminologis, kaidah mempunyai
beberapa arti.
Dr.
Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, dalam bukunya Ushul Fiqh Islami menyatakan bahwa
kaidah adalah : Hukum yang
bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang
banyak.
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan oleh
Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai berikut : Hukum yang
biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian bagiannya.
Sedangkan
arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan yaâ nisbah yang berfungsi sebagai
penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat kepada
ilmu sebagaimana yang banya dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil
dari firman Allah :
Artinya : Untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.
Dan sabda
Nabi Muhammad SAW :
Artinya :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya
kepahaman agama.
Sedangkan dalam arti istilah sebagaimana disebutkan Al-Jurjani
Al-Hanafi, fiqh berarti : Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci), dan
diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.
Dan masih banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama
tentang definisi daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum
dapat disimpulkan bahwa makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan sebagai
berikut :
- Fiqh
merupakan bahagian dari syari’ah.
- Hukum
yang dibahas mencakup hukum yang amali.
- Obyek
hukum pada orang-orang mukallaf.
- Sumber
hukum berdasarkan al-Qurâ an atau As-Sunnah atau dalil lain
yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut.
- Dilakukan
dengan jalan istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan
temporer adanya.
Dari ulasan di atas, baik pengertian kaidah maupun pengertian fiqh, maka
yang dimaksud dengan Kaidah Fiqhiyah adalah.
Ø
Sebagaimana
dikemukakan oleh Imam Tajuddin As-Subki, adalah : Suatu perkara yang kulli yang
bersesuaian dengan juzâ iyah yang banyak yang daripadanya
diketahui hukum-hukum juz‘iyat
itu.
Ø
Dr.
Mustafa Ahmad Az-Zarqaâ adalah : Dasar-dasar yang bertalian dengan
hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya)
dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang
mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat
dimasukkan pada permasalahannya.
2.2 Fungsi Kaidah Fiqih.
Kaidah Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam pembahasan di atas adalah
berfungsi untuk memudahkan para mujtahid atau para fuqoha’ yang ingin mengistinbathkan hukum yang
bersesuaian dengan tujuan syaraâ dan kemaslahatan manusia. Oleh karena itulah
maka sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah
Hukum termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum
Islam adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus
mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.
Selain
dikenal adanya istilah Kaidah Fiqh, dikenal juga istilah Kaidah Ushul Fiqh.
Para ulama membedakan pengertian dari kedua istilah ini, sebab Kaidah Fiqh
adalah satu ilmu yang berdiri sendiri pada satu pihak dan Kaidah Ushul Fiqh
juga adalah merupakan satu ilmu yang berdiri sendiri di lain pihak. Ibnu
Taimiyah membedakan di antara kedua ilmu ini yaitu, Kaidah Ushul Fiqh adalah
dalil-dalil yang umum (ad-Dilalatu al-Ammah), sedangkan Kaidah Fiqh adalah
patokan hukum secara umum (Ibaratu’an
ahkam al-ammah).
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah
Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal
tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furuâ nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu
maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furuâ itu. Dengan berpegang pada kaidah
fiqhiyah tentunya mudah menguasai furuâ
-furuâ nya.
2.3 Sejarah Perkembangan
Beberapa peneliti menjelaskan sejarah Kaidah Fiqh dengan menentukan
priodisasinya menjadi tiga priode, yaitu :
1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (I-II H)
Fase pertumbuhan dan pembentukan ini berlangsung selama tiga abad lebih,
dari zaman kerasulan hingga abad ketiga hijriyah. Priode ini, dari segi fase
sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga dekade yaitu : Pertama Zaman
Nabi Muhammad SAW yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 M / 12 SH-10
H), Kedua Masa Sahabat yang dimulai sejak wafat Nabi hingga tahun 100 H. dan
ketiga Zaman Tabiâ in serta tabiâ ttabiâ in yang berlangsung selama 250 tahun
(724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H dianggap sebagai zaman kejumudan karena
tidak ada lagi pendiri mazhab (351 H/974 M). Ulama pendiri mazhab terakhir
adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/734 M) yang mendirikan mazhab Jaririah.
Dengan demikian maka ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaannya (keemasan),
kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri Kaidah yang dominan adalah
jawamil kalim (kalimatnya ringkas tapi cakupan maknanya luas). Atas dasar ciri
dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadis yang mempunyai ciri tersebut
dapat dijadikan kaidah fiqh . Oleh karena itulah maka priodisasi kaidah fiqh
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi (IV-X H)
Dalam sejarah hukum Islam, abad ke 4 H. dikenal sebagai zaman taqlid.
Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih pendapat imam mazhabnya
masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut mazhab adalah ilhaq (melakukan
analogi atau qiyas). Menurut Ibnu Khaldun , ketika mazhab tiap imam fiqh
menjadi ilmu khusus bagi penganutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan
ijtihad , ulama melakukan tandzir (penyamaan) masalah-masalah untuk dihubungkan
serta memilahnya ketika terjadi ketidak jelasan setelah menyederhanakannya
kepada dasar-dasar tertentu dari mazhab mereka. Dengan cara tandzir dan
isytibab (dipilah), fiqh dikembangkan. Kemudian para ulama meletakkan cara-cara
baru dalam bidang ilmu fiqh ini yang disebut dengan al-Qawaâ id. Mazhab Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan
ilmu ini.
Pada abad ke IV Hijriyah telah ada dua kitab Kaidah Fiqh yaitu Ushul
al-Karkhi karya al-Karkhi yang beraliran hukum Hanafi dan Ushul Futiya yang
disusun oleh Muhammad ibnu Harits al-Husyni yang beraliran Maliki. Sedangkan
pada abad ke V hijriyah telah ada pula buku kaidah fiqh yang berjudul Taâ sis al-Nazhar karya Ibju Zaid al-Dabusi al-Hanafi. Sedangkan buku abad
ke VI hijriyah adalah Idhah al-Qawaâ
id karya â Ala ad-Din Muhammad ibn Ahmad al-Samarqandi. Puncak perkembangan Kaidah
Fiqh adalah abad ke VII hijriyah dengan terbitnya tiga buku besar, yaitu
Al-Qawaâ id fi al-Furuâ al-Syafiâ iyyat karya Muhammad ibnu Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H); Qawaâ id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz al-Din ibn Abdu al-Salam
(w.660 H); Al-Mudzhab fi Dhabith Qawaâ
id al-Mazhab karya
Muhammad Ibn Abdullah Ibn Al-Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w.685 H).
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI H-Kini)
Fase ini hanyalah bersifat pematangan dan penyempurnaan sebab hampir
tidak ditemukan lagi adanya penerbitan buku khusus kecuali hanya sekedar
melakukan pengumpulan dan penyempurnaan saja. Di Indonesia kaidah fiqh semakin
dikenal khususnya setelah menjadi disiplin tersendiri di Program Pasca sarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun perlu diingat bahwa pelajaran Kaidah
Fiqh adalah merupakan salah satu mata pelajaran khusus di Pondok-Pondok
Pesantren Tradisional dengan Kitab Utama Al-Asybah wa al-Nadzaâ ir karya As-Suyuthi.
Dan seperti yang kita pelajaran kini pada program study Hukum Ekonomi
Syari’ah, yang berfumgsi untuk mengetahui asal-usul hukum islam.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Berbagai
pandangan para ahli dalam mengartikan kaidah fikih. Dari pengertian itu dapat
kami ambil kesimpulan bahwa Kaidah Fikih suatu dasah atau perkara yang menggali
masalah-masalah hukum islam, diantaranya masalah muamalat, beribadah, dan bersosialiasi. Kaidah fiqih sangat erat kaitannya dengan
hukum islam. Kaerena dalam ilmu fiqih
mempelajari hukum-hukum yang ada dalam islam. Baik hukum itu yang bersumber
dari Al-Qur’an, hadits ataupun yang berasal dari ijtihadnya para ulama’.
Kaidah-kaidah fiqih ini
berfungsi untun memudahkan para mujtahid dalam memutuskan suatu hukum. Delam
perosesnya menentukan hukum itu ter jadi dalam beberapa masa diantaranya :
1. Fase
Pertumbuhan dan Pembentukan (I-II H)
2. Fase
Perkembangan dan Kodifikasi (IV-X H)
3. Fase
Kematangan dan Penyempurnaan (XI H-Kini)
3.2 Saran
Inilah sebagian karya kecil kami, semoda
dapat bermanfaat bagi para pembaca. meski kami telah telah bwerusaha semaksimal
mungkin namun kami menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari sempurna.
Maka dari itu kami mengharapkan saran dan dukungannya agar kami dapat menbuat
yang lebuh baik lagi.
Daftar Pustaka
supardi,ahmad, kaidah-kaidah hukum islam, Bandung: pustaka setia
Amin,A.ziz. filafat
hukum islam fakultas syari’ah semester V, Jakarta.
0 komentar: