Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

makalah kaidah fiqhiyah dan pengertiannya

0 komentar


Bab I
Pendahuluan


1.1             Latar Belakang

Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qurâ  an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qurâ  an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qurâ  an. Dan apabila dalam al-Qurâ  an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qurâ  an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qurâ  an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.
Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat Syarâ  iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.

2.1  Rumusan Masalah

a.       Apakah  yang dimaksud dengan fiqih?
b.      Massa perkembangan kaidah fiqih?
c.       Pengertian kaidah hukum islafiqihm menurut para ahli?


Bab II
Kidah Fiqih

2.1  Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kaidah dalam bahan Indonesia dikenal dengan istilah kaidah (sesuai dengan judul makalah) yang berarti aturan atau patokan.

Secara terminologis, kaidah mempunyai beberapa arti.

      Dr. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, dalam bukunya Ushul Fiqh Islami menyatakan bahwa kaidah adalah : Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak.
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan oleh Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai berikut : Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian bagiannya.
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan yaâ   nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat kepada ilmu sebagaimana yang banya dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah :
Artinya : Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.

Dan sabda Nabi Muhammad SAW :
Artinya : Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman agama.
Sedangkan dalam arti istilah sebagaimana disebutkan Al-Jurjani Al-Hanafi, fiqh berarti : Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci), dan diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.
Dan masih banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama tentang definisi daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan sebagai berikut :
  1. Fiqh merupakan bahagian dari syariah.
  2. Hukum yang dibahas mencakup hukum yang amali.
  3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf.
  4. Sumber hukum berdasarkan al-Qurâ  an atau As-Sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut.
  5. Dilakukan dengan jalan istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
Dari ulasan di atas, baik pengertian kaidah maupun pengertian fiqh, maka yang dimaksud dengan Kaidah Fiqhiyah adalah.
Ø  Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Tajuddin As-Subki, adalah : Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juzâ  iyah yang banyak yang daripadanya diketahui hukum-hukum juziyat itu.
Ø  Dr. Mustafa Ahmad Az-Zarqaâ   adalah : Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

2.2 Fungsi Kaidah Fiqih.
Kaidah Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam pembahasan di atas adalah berfungsi untuk memudahkan para mujtahid atau para fuqoha’  yang ingin mengistinbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syaraâ   dan kemaslahatan manusia. Oleh karena itulah maka sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.
Selain dikenal adanya istilah Kaidah Fiqh, dikenal juga istilah Kaidah Ushul Fiqh. Para ulama membedakan pengertian dari kedua istilah ini, sebab Kaidah Fiqh adalah satu ilmu yang berdiri sendiri pada satu pihak dan Kaidah Ushul Fiqh juga adalah merupakan satu ilmu yang berdiri sendiri di lain pihak. Ibnu Taimiyah membedakan di antara kedua ilmu ini yaitu, Kaidah Ushul Fiqh adalah dalil-dalil yang umum (ad-Dilalatu al-Ammah), sedangkan Kaidah Fiqh adalah patokan hukum secara umum (Ibaratuan ahkam al-ammah).
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furuâ  nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furuâ   itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furuâ  -furuâ  nya.



2.3 Sejarah Perkembangan
Beberapa peneliti menjelaskan sejarah Kaidah Fiqh dengan menentukan priodisasinya menjadi tiga priode, yaitu :
1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (I-II H)
Fase pertumbuhan dan pembentukan ini berlangsung selama tiga abad lebih, dari zaman kerasulan hingga abad ketiga hijriyah. Priode ini, dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga dekade yaitu : Pertama Zaman Nabi Muhammad SAW yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 M / 12 SH-10 H), Kedua Masa Sahabat yang dimulai sejak wafat Nabi hingga tahun 100 H. dan ketiga Zaman Tabiâ  in serta tabiâ  ttabiâ  in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H dianggap sebagai zaman kejumudan karena tidak ada lagi pendiri mazhab (351 H/974 M). Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/734 M) yang mendirikan mazhab Jaririah. Dengan demikian maka ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaannya (keemasan), kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri Kaidah yang dominan adalah jawamil kalim (kalimatnya ringkas tapi cakupan maknanya luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadis yang mempunyai ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh . Oleh karena itulah maka priodisasi kaidah fiqh dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi (IV-X H)
Dalam sejarah hukum Islam, abad ke 4 H. dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih pendapat imam mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut mazhab adalah ilhaq (melakukan analogi atau qiyas). Menurut Ibnu Khaldun , ketika mazhab tiap imam fiqh menjadi ilmu khusus bagi penganutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad , ulama melakukan tandzir (penyamaan) masalah-masalah untuk dihubungkan serta memilahnya ketika terjadi ketidak jelasan setelah menyederhanakannya kepada dasar-dasar tertentu dari mazhab mereka. Dengan cara tandzir dan isytibab (dipilah), fiqh dikembangkan. Kemudian para ulama meletakkan cara-cara baru dalam bidang ilmu fiqh ini yang disebut dengan al-Qawaâ  id. Mazhab Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan ilmu ini.
Pada abad ke IV Hijriyah telah ada dua kitab Kaidah Fiqh yaitu Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi yang beraliran hukum Hanafi dan Ushul Futiya yang disusun oleh Muhammad ibnu Harits al-Husyni yang beraliran Maliki. Sedangkan pada abad ke V hijriyah telah ada pula buku kaidah fiqh yang berjudul Taâ  sis al-Nazhar karya Ibju Zaid al-Dabusi al-Hanafi. Sedangkan buku abad ke VI hijriyah adalah Idhah al-Qawaâ  id karya â  Ala ad-Din Muhammad ibn Ahmad al-Samarqandi. Puncak perkembangan Kaidah Fiqh adalah abad ke VII hijriyah dengan terbitnya tiga buku besar, yaitu Al-Qawaâ  id fi al-Furuâ   al-Syafiâ  iyyat karya Muhammad ibnu Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H); Qawaâ  id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz al-Din ibn Abdu al-Salam (w.660 H); Al-Mudzhab fi Dhabith Qawaâ  id al-Mazhab karya Muhammad Ibn Abdullah Ibn Al-Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w.685 H).


3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI H-Kini)
Fase ini hanyalah bersifat pematangan dan penyempurnaan sebab hampir tidak ditemukan lagi adanya penerbitan buku khusus kecuali hanya sekedar melakukan pengumpulan dan penyempurnaan saja. Di Indonesia kaidah fiqh semakin dikenal khususnya setelah menjadi disiplin tersendiri di Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun perlu diingat bahwa pelajaran Kaidah Fiqh adalah merupakan salah satu mata pelajaran khusus di Pondok-Pondok Pesantren Tradisional dengan Kitab Utama Al-Asybah wa al-Nadzaâ  ir karya As-Suyuthi.
Dan seperti yang kita pelajaran kini pada program study Hukum Ekonomi Syari’ah, yang berfumgsi untuk mengetahui asal-usul hukum islam.


Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
      Berbagai pandangan para ahli dalam mengartikan kaidah fikih. Dari pengertian itu dapat kami ambil kesimpulan bahwa Kaidah Fikih suatu dasah atau perkara yang menggali masalah-masalah hukum islam, diantaranya masalah muamalat,  beribadah, dan bersosialiasi.  Kaidah fiqih sangat erat kaitannya dengan hukum islam.  Kaerena dalam ilmu fiqih mempelajari hukum-hukum yang ada dalam islam. Baik hukum itu yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits ataupun yang berasal dari ijtihadnya para ulama’.
      Kaidah-kaidah fiqih ini berfungsi untun memudahkan para mujtahid dalam memutuskan suatu hukum. Delam perosesnya menentukan hukum itu ter jadi dalam beberapa masa diantaranya :
1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (I-II H)
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi (IV-X H)
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI H-Kini)

     
3.2 Saran
      Inilah sebagian karya kecil kami, semoda dapat bermanfaat bagi para pembaca. meski kami telah telah bwerusaha semaksimal mungkin namun kami menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan saran dan dukungannya agar kami dapat menbuat yang lebuh baik lagi.


Daftar Pustaka

supardi,ahmad, kaidah-kaidah hukum islam, Bandung: pustaka setia
Amin,A.ziz. filafat hukum islam fakultas syari’ah semester V, Jakarta.






0 komentar: