kaidah hukum islam
1. Prinsip-Prinsip Hukum Isalm
A. Meniadakan Kepicikan Dan Tidak
Memberatkan (Adamul Haraj)
Tabi’at manusia tidak menyukai
beban yang membatasi kemerdekaannya dan manusia senantiasa memperhatikan beban
hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak mengikuti perintah
terkecuali kalau perintah-perintah itu dapat menawan hatinya, mempunyai daya
dinamika, kecuali perintah yang dikerjakan dengan keterpaksaan. Syari’at Islam
dapat nenarik manusia dengan amat cepat dan mereka dapat menrimanya dengan
penuh ketetapan hati. Hal ini adalah karena Islam menghadapkan pembicaraannya
kepada akal, dan mendesak manusia bergerak dan berusaha, serta memenuhi
kehendak firtah yang sejahtra. Hukum Islam menuju kepada toleransi, persamaan,
kemerdekaan, menyuruh yang ma’ruf mencegah yang munkar.
Tentang dasar-dasar hukum yang
berpangkal kepada tujuan dan prinsif kemaslahatan, demikian pula tentang
perubahan-perubahannya berhubung dengan perubahan waktu dan keadaan serta
hubungan perubahan itu dengan ketentuan nash hukum. Bagian terbesar daripada
ketentua-ketentuan hukum yang mungkin mendapat perubahan-perubahan itu,
hanyalah aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan soal perincian saja.
Disamping itu, ada bagian hukum yang sifatnya umum yang juga mengenai muamalat
yang tetap tidak berubah karena soal waktu, tempat atapun keadaan.
Hukum Islam senantiasa
memberikan kemudahan dan menjauhi kesulitan, semua hukumnya dapat dilaksanakan
oleh umat manusia. karena itu dalam hukum Islam dikenal isatilah rukhsoh.
B. Menyedikitkan Beban (Taklilu
At-Takalif)
Nabi
melarang para sahabat memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum ada yang
nantinya akan memberatkan mereka sendiri, Nabi SAW justru menganjurkan agar
mereka memetik dari kaidah-kaidah umum. Kita ingat bahwa ayat-ayat alqura’an
tentang hukum hanya sedikit. Yang sedikit tersebut justru memberikan lapangan
yang luas bagi manusia untuk berijtihaj. Dengan demikian hukum isalm tidaklah
kaku, keras, dan berat bagi umat manusia.
Dugan-dugan atau sangkan-sangkaan tidak boleh
dijadikan dasar penetapan hukum. Allah berfirman dalam surat 5 ayat 101:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
w
(#qè=t«ó¡n@ ô`tã
uä!$uô©r&
bÎ) yö6è?
öNä3s9
öNä.÷sÝ¡n@
bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ã
ãb#uäöà)ø9$# yö7è?
öNä3s9
$xÿtã ª!$#
$pk÷]tã 3 ª!$#ur îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇÊÉÊÈ
101.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
C. Ditetapkan
secara bertahap (tadriijiyan)
Tiap-tiap masyarakat tentu
mempunyai adat kebiasaan atau tradisi atau adat, baik tradisi tersebut
meurupakan teradisi yang baik maupun terdisi yang membahayakan mereka sediri.
Tradisi tersebut ada yang berurat dan berakar secara mendalam dalam darah
daging mereka dan ada yang sifatnya hanya dangkal.
Dengan
mengingat faktor tradusi dan ketidak senangan manusia untuk menghadapi
perpindahan sekaligus dari suatu keadaan ke keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka,
alqur’an diturunkan berangsur-angsur, surat demi surat ayat demi ayat sesuai
dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian,
hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong kearah
mentaatinya, serta bersiap-siap meninggalakan ketentuan lama dan menerima
ketentuan baru.
D. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Hubungan
sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan dengan pencipta jika baik
hubungan dengan manusia lain, maka baik pula hubungan dengan penciptanya. Karna
itu hukum islam menekankan kemanusiaan.
Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada
tiga sendi pokok, yaitu:
- Hukum-hukum
ditetapakan sudah masyarakat membutuhakan hukum-hukum itu.
2. Hukum-hukum ditetapakan oleh sesuatu
kekuasaan yang berhak menetapakan hukum dan menundukan masyarakat ke bawah
ketetapannya.
- Hukum-hukum
ditetapakan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Adapun tujuan syara dalam
menetapakan hukum diantaranya:
1. Memelihara kemasalahatan agama.
2. Memelihara jiwa.
3. memelihara akal.
4. Memelihara keturunan.
5. memelihara harta benda dan kehormatan.
E. Mewujudkan Keadilan Yang Merata.
Menurut syriat islam, semua
orang sama. Tidak ada kelebihan seorang manusia dari yang lain dihadapan hukum.
Penguasa tidak terlindung oleh kekuasaannya ketika ia berbuat kedoliman. Begitu
pula orang kaya dan orang berpangkat. Dengan itu kaidah-kaidah umum yang harus
di perhatikan dalam menerapakan hukum adalah:
1. Mewujudkan keadilan.
2. Mendatangkan kesejahtraan dan kemakmuran
masyarakat.
3. Menetapkan hukum yang berpadanan dengan
keadaan darurat.
4. Pembalasan harus sesuai dengan dosa yang
dilakukan.
5. Tiap-tiap manusia memikul dosanya sendiri.
2. Kaidah Hukum Dalam Islam
Para ulama ushul telah
menetapakn sejumlah kaidah-kaidah tasyri yang wajib diketahui dan diperhatiakan
oleh mereka yang hendak mentafsirkan nash-nash tasyri. Kaidah-kaidah itu
dipetik dari penelitian hukum-hukum yang telah didatangkan nash untukanya serta
illat-illat hukum-hukum itu, dan prinsip-prinsip syariat yang umum. Jelaslah
bahwa syara bertujuan dari syariatnya mewujudkan maksud-maksud yang umum.
Secara etimologis, kaidah
berarti asas. Dalam istilah ahli grmatika bahasa arab, ia bermaksud:
Artinya: “ dlobith yang mempunyai makna hukum
kulli yang mencakup bagian-bagiannya (particular)”.
Sebagian ahli hukum merumuskan
kaidah dengan:
Artinya:” Suatu hukum dominan yang mencakup
seluruh bagiannya.”
Penyusun pemula kitab Qowa’id
diperkirakan adalah Abu Thair Al-Dabbas, seorang ulama yang hidup pada abad III
dan IV Hijriyah. Dia mengumpulkan sebanyak 17 buah kaidah yang terpenting dari
madhab hanafi. Di antranya adalah lima kaidah yang menurut Al-Qadhi Husain
merupakan kaidah induk yaitu:
a.
: Segala
sesuatu itu bergantung kepada maksud
pelakunya.
b.
: Kemudharatan
itu harus di hilangkan
c.
: Adat
kebiasaan itu menjadi hakim
d.
: Keyakinan
itu tidak bisa di hilangkan lantaran
munculnya keraguan.
e.
: Kesukaran
itu mendatangkan kemudahan.
Kaidah-kaidah asasiyah adalah
kaidah yang di pegang oleh semua madzhab, yang terdiri dari enam kaidah; yang
keenamnya berbunyi:
Artinya:” Tak ada pahala tanpa niat”.
Adapun kaidah-kaidah ghair
asasiyah, terdiri dari 19 kaidah dalam berbagai maudhu’. Dari 19 kaidah ini
bercabang beberapa kaidah yang lain.
Dibawah ini disajikan sejumlah kaidah dalam:
A. Hukum Dharurat Dan Hajat
. 1.
“ Kesukaran itu mendatangkan
kemudahan”
2.
“ Kemudharatan itu harus di
hilangkan”.
3.
“ Keadaan-keadaan dharurat
membolehkan sesuatu yang di hilangkan”.
4.
“ Kemudharatan khusus dapat
diambil demi menolak kemudharatan umum”.
5.
“Menolak kerusakan harus
didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”
6.
“Hukum itu mengikuti
kemaslahatan yang lebih kuat”
7.
“Hajat itu ditempatkan pada
tempat darurat”
B. Maksud dan Tujuan Perbuatan
1.
“Segala urusan itu didasarkan
pada maksud”
2.
“Yang dihargai dalam bidang
aqad itu makna dan tujuannya, bukan ucapan dan perkataannya”
3.
“Keyakinan itu tidak dapat
dihilangkan dengan persangkaan”
C. Mempergunakan Adat Kebiasaan sebagai
Dasar Hukum
Artinya: Adat (kebisaan) adalah sesuatu yang sudah
dikenal masyarakat atau dikenal manusia dan telah menjadi kebiasaan yang
digemari serta berlaku dalam perikehidupan mereka.
Kaidah-kaidah ini bertujuan
untuk memelihara ruh Islam dalam membina hukum dan mewujudkan idea-idea yang
tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, maupun dalam memelihara
maslahat, menolak mafsadat, serta memperhatikan keadaan dan suasana.
0 komentar: