Maklah Usul Fiqh tentang (Kaidah ke-3) Al-masyaqatu Tajlib At-taysir
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syariat islam penuh toleransi dalam hukum-hukum dan
amalan-amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun
Islam. Salah satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan
amaliah yang mudah dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat,
hanya memerlukan sebagian kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat.
Itu pun diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap.
Begitu mudahnya islam itu, islam tak
pernah menyulitkan para pemeluknya. Ada kemudahan didalam kesulitan. Karena
Allah Swt. Tidak menyukai kesukaran pada hambanya. Oleh karena itu dalam islam
tidak ada paksaan untuk mengikutinya.
1.2 Rumusan Masalah
- Penjelasan Kaidah Ke-3?
- Pembagian dan contoh-contoh kaidah ke-3?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 (Kaidah ke-3) Al-masyaqatu Tajlib
At-taysir
الـمَشَقَّةُ
تَـجْلِبُ التَّيْسِيْـرَ
Adanya Kesulitan Akan Memunculkan
Adanya Kemudahan
Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah swt :
وَلَايُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرُ بِكُمُ الْيُسْرَ اللَّهُ يريد
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”. [al-Baqarah/2:185].
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”. [al-Baqarah/2:286].
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُم فِي الدِّين مِن
حَرَجٍ ْ
"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan".
[al-Hajj/22:78].
فَاتَّقُوللَّه مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu".[at-Taghâbun/64:16].
Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat
berharga ini. Dikarenakan seluruh syari'at dalam agama ini lurus dan penuh
toleransi. Lurus tauhidnya, terbangun atas dasar perintah beribadah hanya
kepada Allah Swt. semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun.
Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam
hukum-hukum dan amalan-amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup
dalam rukun Islam. Salah satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah
ini merupakan amaliah yang mudah dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian
pula zakat, hanya memerlukan sebagian kecil dari harta orang yang terkena
kewajiban zakat. Itu pun diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta
tetap. Dan zakat ini dilaksanakan hanya sekali dalam setahun. Juga ibadah puasa
Ramadhan yang hanya dilaksanakan selama satu bulan setiap tahun. Ibadah haji
yang wajib dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang mempunyai
kemampuan. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang secara insidental
sesuai dengan sebab yang melatarbelakanginya.
Seluruh ibadah-ibadah tersebut sangat mudah dan ringan.
Allah Swt, juga mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan
semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan
disyariatkannya berjama'ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum'at, dan shalat
hari raya. Demikian pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan secara
bersama-sama pada bulan Ramadhan. Juga ibadah haji yang dilaksanakan
bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.
Tidak diragukan lagi, pelaksanaan ibadah secara
berjama'ah akan lebih meringankan pelaksanaan berbagai ibadah, lebih memberi
semangat, serta lebih mendorong untuk saling berlomba meraih kebaikan.
Sebagaimana juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan pahala bagi orang
yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan ikhlas dan sesuai tuntunan
Nabi-Nya, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Pahala yang tidak bisa diukur
besarnya. Janji Allah k merupakan pendorong terbesar dalam melaksanakan amal
kebaikaan dan meninggalkan kejelekan.
Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi,
jika ada yang mempunyai udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau
kesulitan melaksanakan hukum-hukum syari'at, maka Allah Swt, telah memberikan keringanan sesuai dengan
kedaaan dan kondisi orang bersangkutan.
2.2 Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir/ المشقه تجلب التيسير
Dari kaidah asasi
tersebut di atas (Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir)
kemudian di munculkan kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena
hanya berlaku pada bab-bab tertentu, diantaranya:
إذا
ضاق الأمر إتسع .1
”Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”.
Kaidah ini
sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah
tajlib al- taisir”, sebab Al-Masyaqqah itu
adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan
Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan
suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.Akan
tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula.
Oleh karena itu
muncul pula kaidah kedua:
إذا
إتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit
maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga dimaksud
untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu kaidah ini gabungkan menjadi satu, yaitu:
إذا
ضاق الأمر إتسع و إذا إتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka
hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya
menyempit”
Kaidah ini juga menunjukan
fleksibilitas hukum islam yang biasa diterapkan secara tepat pada setiap
keadaan. Semakna dengan kaidah di atas adalah kaidah:
كل ما
تجاوز عن حده إنعكس إلى ضده
“Setiap yang
melampaui Batas maka hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya”.
Atau kaidah:
ما جاز
لعذر بطل بزواله
“Apa yang
dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak dibolehkan lagi) dengan
hilangnya halangan tadi”
Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang
menstruasi dilarang shalat dan saum. Larangannya tersebut menjadi hilang bila
menstruasinya berhenti kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan saum ramadhan
kembali lagi dan boleh lagi melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
إذا
تعذر الأصل يصار إلى البدل .2
“Apabila yang asli
sukar dikerjakan maka berpindah kepada menggantinya”
Contohnya: tayamum sebagai pengganti
wudhu. Seseorang yang meminjam harta orang lain, wajib mengembalikan
harta aslinya. Apabila harta tersebut sudah rusak atau hilang sehingga tidak
mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan
harga demikian juga dengan halnya dengan orang yang
meminjam suatu benda kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka
penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau
diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran. Dalam fiqh Siasah,
kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan
tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT (Pejabat yang Melaksanakan
Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas
yang lain sebagai penggantinya.
ما لا
يمكن التحرز منه معفوعنه .3
“Apa yang tidak mungkin
menjaganya (menghindarakannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang shaum,
kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau
masih ada sisa-sisa. Darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan
cucian.
الرخص
لا تناط بالمعصى .4
“Keringanan itu tidak
dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini dugunakan untuk
menjaga agar keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk
melakukan maksiat (kejahatan atau dosa) seperti: orang bepergian dengan tujuan
melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau
berdagang barang-barang yang diharamkan maka orang semacam ini tidak boleh
menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi
lagi kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia
tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa
dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian
dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu Al-Halal (usaha
yang halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan
kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
إذا
تعذرت الحقيقة يصار إلى المجاز .5
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti
yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contonya: seseorang berkata: “saya
wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak Kyai
Anas tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal
ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata
sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal
dunia .
إذا
تعذر إعمال الكلام يهمل .6
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka
perkataan tersebut ditinggalkan”
Contohnya: apabila seseorang
menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal,
kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari
orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang
tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
يغتفرفي
الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء .7
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan
perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya: orang yang menyewa rumah
yang diharuskan bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada
waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan
sewaannya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya
untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi
persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama
kali.
يغتفر في
الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام ى .8
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan
pada kelanjutannya”
Dhabith ini terjadi pada kasus tertentu yaitu
orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut
dilarang. Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu
bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena
se-nasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena persusuan.
Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada
hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau persusuan, yang menghalangi
sahnya pernikahan.
Maka pernikahan tersebut harus
dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain:
seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras karena kebiasaannya sebelum
masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu dilarang (haram). Maka
orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia
harus menghentikan perbuatan tersebut.
يغتفر
في التوابع ما لا يغتفرفي غيرها .9
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan
tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya: penjual boleh menjual
kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang
dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena
tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.
BAB III
Kesimpulan
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسير ialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan ataukesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum),
maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi
tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan
kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب
التيسير menunjukkan
fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan
yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu
kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang
kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.
Daftar
Pustaka
(Qawa'id Fiqhiyah:
Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII)
Djazuli,
A, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007.
Ma’Shum
Zein, Muhammad, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa
Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004.
Musbikin,
Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2001.
Tim, Kamus
Al-Munir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), Surabaya: Kashiko, 2000.
Yasid,
Abu, Aspek-aspek Penelitian Hukum (Hukum Islam-Hukum Barat), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
0 komentar: