Makalah Fiqih Muamalah tentang Asy-Syufah
Tentang
(ASY-SYUF’AH)
Disusun :
·
PENDI ARIANTO
·
KHUSNUL KHOTIMAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
AS-SHIDDIQIYAH
LEMPUING
JAYA KAB. OKI SUM-SEL
TAHUN
AKADEMIK 2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan Rahmad, Taufik Serta Hidayahnya sehingga kami
masih di beri kesempatan untuk menyelesaikan Makalah yang berjudul “Asy-syuf’ah”
dengan lancar tanpa ada kesulitan sedikitpun.
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Dosen Pembibing kami yang telah memberikan arahan kepada kami sehingga
kami dapat menerapkan semua yang telah di ajarkan beliau guna untuk
menyempurnakan Makalah yang kami selesaikan ini.
Ucapan terimakasih juga tak lupa
saya sampaikan kepada teman-tema yang telah berjuang dengan keras untuk menyelsaikan
makalah ini. Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan
bagi pembaca pada umunya.
Kami menyadari bahwa makalah yang
kami selesaikan ini masih banyak sekali kekuranganya sehingga kami masih
memerlukan kritik dan saran yang membangun guna untuk memperbaiki makalah
selanjutnya.
Lempuing Jaya, Maret 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul............................................................................................. i
Kata
Pengantar............................................................................................. ii
Daftar
Isi....................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................. 2
1.3
Tujuan pembahasan........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Syuf’ah (Asy-Suf’ah).......................................................... 3
2.2 Landasan Hukum Syuf’ah................................................................ 4
2.3 Rukun-Rukun Dan Syarat-Syarat Syuf’ah........................................ 5
2.4 Pewaris Syuf’ah................................................................................ 9
2.5 Tindakan
Pembeli.............................................................................. 10
2.6 Hikmah
Asy-Syuf’ah........................................................................ 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 11
3.2 Saran ................................................................................................. 11
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan
keadilan, menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki
aturan yang lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan
maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan
kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada
persekutuan dalam benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah),
seringkali terjadi kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan sehingga
sulit dilakukan pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang
bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu
menjual bagiannya dari benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan
diantara keduanya, maka bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian
dari pembeli dengan harga yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan
kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi
benda-benda yang tidak bergerak yang disekutukan belum dibagi, tidak diketahui
batasan-batasannya dan tidak dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika
batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya diketahui antara dua bagian dan
jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada Syuf’ah karena dampak persekutuan dan
percampur adukan hak milik sudah tidak ada, yang karenanya ada penetapan
terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang dijual dari pembeli. Dan
dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana
filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.
Apa yang
dimaksud dengan Asy-Syuf’ah?
2.
Bagaimana
Landasan hukum apa yang di pakai adanya Syuf’ah?
3.
Apa saja
rukun dalam Syuf’ah?
4.
Serta
apa saja syarat dalam Syuf’ah?
5.
Adakah
pewaris di dalam Syuf’ah itu?
6.
Apa
hikmah dengan adanya Syuf’ah?
1.3
TUJUAN
PEMBAHASAN
Tujuan
dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
definisi dari Asy-Syuf`ah.
2.
Mengetahui
landasan hukum yang dipakai Syuf’ah.
3.
Mengetahui
rukun-rukun serta syarat-syarat dalam Syuf’ah.
4.
Mengetahui
pewarisan dalam Syuf’ah.
5.
Mengetahui
hikmah adanya Syuf’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI SYUF’AH (ASY-SUF’AH)
Asy-Syuf’ah
berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan),
hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang
yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, Partner
(mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa
yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat
hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.[1]
Sedangkan
menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai
pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai
dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[2]
Berbeda dengan para
ulama menafsirkan al-syuf’ah adalah sebagai berikut :
1.
Menurut Syaikh Ibrahim
al-Bajuri[3]
bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah ialah :
“Hak memiliki sesuatu
secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan
adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya,
disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”
2.
Menurut Sayyid sabiq, Asy-syuf’ah
ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i sebagai pengganti dan pembeli
denan membayar harga brang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa
dibayar oleh pembeli lain.[4]
3.
Menurut Idris ahmad,[5] Asy-syuf’ah
ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat barudengan
jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.
Setelah diketahui ta’rif-tar’rif yang dikkemukakan
oleh para ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah
ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan dua orang atau pihak yang
berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.
Dari pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di
ambil kesimpulan bahwa asy-syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu
hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang
lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah,
syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al-masyfu’) oleh
pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang
membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan[6].
2.2 LANDASAN
HUKUM SYUF’AH
Dasar hukum Syuf’ah adalah as-Sunnah, dan umat
Islam telah sepakat akan
pensyariatannya, diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
Dari Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah, bahwa Rasulullah saw.menetapkan Syuf’ah untuk barang yang pembagian
kepemilikannya belum jelas (untuk barang yang belum dipecah).
Apabila telah ada had (batasan) secara
jelas dan dapat dibedakan, maka tidak lagi berlaku Syuf’ah.[7](Shahih:
Shahih Ibnu Majah no: 2028, Fathul Bari IV: 436 no: 2257 dan lafadz ini milik
Imam Bukhari, ’Aunul Ma’bud IX: 425 no: 3497, Ibnu Majah II: 835 no: 2499 dan
Tirmidzi II: 413 no: 1382 tanpa kalimat terakhir).
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa mempunyai (kebun) kurma, atau sebidang tanah, maka ia tidak
boleh menjualnya sebelum menawarkannya kepada rekan sekongsinya.” (Shahih:
Shahih Ibnu Majah no: 2021 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2492 dan Nasa’i VII:
319).[8]
Dari Abu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Kawan sekongsi itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan dia.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2027 dan Ibnu Majah II: 834 no: 2498).[9]
2.3 RUKUN-RUKUN DAN SYARAT-SYARAT SYUF’AH
a.
Rukun-rukun
Syuf’ah[10]:
1.
Barang
yang diambil (sebagian yang sudah diambil), sayaratnya keadaan barang tidak
bergerak. Adapun barang yang bergerak berarti dapat dipindahkan, dan tidak
berlaku padanya Syuf’ah, melainkan dengan jalan mengkuti kepada yang tidak
bergerak.
2.
Orang
yang mengambil barang (partner lama); disyari’atkan keadaannya orang yang tidak
bersyari’at pada zat yang diambil, dan memiliki akan bagiannya. Maka tetangga
tidak berhak mengambil Syuf’ah menurut madzhab Syafi’i, begitu juga yang
bersyari’at pada manfaat, dan orang yang mempunyai hak pada harta wakaf.
3.
Yang
dipaksa (partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya dengan jalan
bertukar, bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun pemberian.
b.
Syarat-syarat
Asy Syuf’ah[11]:
1.
Barang
yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah, rumah dan
yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan,
pintu-pintu, atap-atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat
dilepas.
Berdalil
kepada hadits dari Jabir r.a.:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِوَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ : رُبْعَةٍ
أَوْحَائِطٍ
“Rasulullah menetapkan
Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah (perseroan) yang tidak dapat
dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun”.
Berbeda dengan pendapat penduduk Makkah dan
ad-Dhahiriyah, serta suaturiwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan: “Bahwa
Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”. Karena bahaya yang mungkin dapat
terjadi pada partner dalam jual-beli barang tak bergerak, dapat pula
terjadipada barang yang dapat dipindahkan. Mereka berdalil kepada hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شَيْ
“Rasulullah
menetapkan Syuf`ah untuk segala jenis”.
Dalil lain adalah hadits riwayat Ibnu Abbas
r.a., bahwa Nabi saw., bersabda:
اَلشُّفْعَةُ فِيْ كُلِّ شَيْئٍ
“Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”.
Ath-Thahawi mengeluarkan kesaksian dari hadits
Jabir dengan isnad yang dapat dipercaya, dan Ibnu Hazm mendukung hadits ini. Ia
mengtakan: “Syuf’ah wajib pada setiap penjualan barang musya’ yang tidak dapat
dibagi antara dua orang atau lebih, dalam
bentuk apapun yang pada awalnya terbagi-bagi berupa, tanah pohon (satu
atau lebih), budak pria, budak wanita, pedang, makanan, binatang atau apa saja
yang tidak dapat dijual”.
2.
Orang yang membeli secara Syuf’ah, adalah partner
dalam barang tersebut. Dan perkongsian mereka lebih dulu terjalin sebelum
penjualan, dan tidak adanya perbedaaan batasan antara keduanya, hingga barang
itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
Dari
Jabir r.a., berkata:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ ماَلَمْ يُقْسَمْ,
فَإِذاَوَقَعَةِالْحُدُوْدُوَصُرِّفَتِّ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ (رواه
الخمسة)
“Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala
jenis yang belum dibagi/dipecah. Dan apabila terjadi had (batasan hak) kemudian
pembedaan hak sudah jelas, maka tidak ada lagi Syuf’ah”. Riwayat
Al-Khamsah.
Artinya bahwa Syuf’ah yang berlaku untuk semua
jenis barang Musytarak (bersama) yang menjadi milik telah dilakukan
diantara keduanya, maka tidak ada lagi Syuf’ah.
Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian,
maka sesungguhnya dia berlaku untuk barang yang dapat dibagi. Partner
dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat memanfaatkan bagiannya itu,
seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu, Syuf’ah tidak
berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak ada.
3.
Barang
yang di Syuf’ahkan keluar dari pemilikan tuannya dengan jalan penggantian
harta, seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti pengakuan
(pernyataan) dengan jalan damai, atau karena adanya faktor jinayat, atau
hibah dengan penjualan dengan cara tertentu. Karena pada hakekatnya ini adalah
penjualan.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Syuf’ah hanya
berlaku bagi barang yang dijual saja, dengan berlandaskan pada makna lahiriah
hadits dalam Bab ini.
4.
Syafi`
meminta dengan segera.
Maksunya, bahwa Syafi’ jika telah mengetahui
penjualan ia wajib meminta dengan segera, jika hal itu memungkinkan. Jika ia
telah menegetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya
menjadi gugur.
Sebabnya,
karena jika Syafi’ memintanya dengan segera atau ia memperlambat permintaannya,
hal ini akan berbahaya bagi si pembeli. Kerena pemilikanya terhadap barang yang
dijual tidak sesuai (stabil) dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk
membangunnya, karena takut tersia-sia oleh usaha dan karena ia takut diambil
segera Syuf’ah.
5.
Syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli
sejumlah harga sesuai yang telah diakadkan. Kemudian Syafi’ mengambil Syuf’ah
harga yang sama, apabila jual beli itu Mitslian, atau dengan suatu nilai
yang dihargakan.
Di dalam
hadits Marfu` dari Jabir:
هُوَأَحَقُّ
بِهِ بِاالثّمَنِ (رواه الجوزجان)
“Dia
(syafi’) lebih berhak dengan harga”. Riwayat Al-Jauzjani
Bila ia
tidak mampu menyarahkan keseluruhan harga, gugurlah Syuf’ah. Imam Malik dan
mazdhab Hanbali berpendapat: “Bahwa apabila harga itu ditangguhkan semuanya
atau sebagiannya, maka Syafi’ boleh menangguhkannya, atau membayarnya secara
kredit sesuai dengan akad di awal.
6.
Syafi’ mengambil semua transaksi jual beli atas
barang. Apabila Syafi’ mengambil sebagian saja, maka gugur haknya secara
keseluruhan.
Dan
apabila Syuf’ah terjadi antara lebih dari satu orang Syafi’, sebagian mereka
melepaskannya, untuk yang sebagian lagi tak lain kecuali mengambil
keseluruhannya. Hal ini dimaksudkan agar barang tidak terpilah-pilah atas
pembeli.
2.4 PEWARIS
SYUF’AH
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat
diwariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila sesorang memperoleh hak
Syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia sebelum hak itu atau ia sudah
mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada
ahli waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan harta
benda.
Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika mayit
menuntutnya”. Dan para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak ini tidak
dapat diwariskan, dan juga tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah,
kecuali jika hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.[12]
2.5 TINDAKAN PEMBELI
Tindakan pembeli
terhadap harta sebagai Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena ia
bertindak terhdap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada
orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua
penjualan. Jika pembeli harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya
atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnya sebab pemilikan barang
tersebut tanpa ganti.
Tindakan pembeli yang
telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil sebab Syafi’i
telah melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli bermaksud mempermainkan
hak Syafi’i. Apabila seseoran berdamai dalam masalah syuf;ah aatau menjalnya
dari pembeli, menurut al-syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan bathal dan
menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan benda-benda yang
telah diambil. Menurt Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali perbuatan itu sah dan dia
berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia miliki dari pembeli.
2.6 HIKMAH
ASY-SYUF’AH
Islam mensyari’atkan
Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan menghindari permusuhan. Karena hak
kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain (pihak lain) akan dapat mencegah
kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lainyang baru saja ikut serta. Imam
Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud dengan madharat (bahaya)
adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak baruyang ikut serta dan
lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud kemadharatan adalah
risiko persekutuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Syuf’ah
adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli
dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa
dibayar oleh pembeli lain.
Jika
didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk
barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia
dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi.
Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah
manfaatnya menjadi tidak ada.
Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang
bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah
seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain dan membeli
bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan, kita tahu bahwa
kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang ditentukan akan
mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika
ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah
menyakiti teman sekutunya yang lain dengan adanya tetangga ini.
3.2 SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi tentang Asy-syuf’ah, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Sayyid
Sabiq, 1988. Fiqih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif.
Rasjid
Sulaiman, 1976. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah.
Tamrin
Dahlan, 2012. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN Press.
alislami.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syuf`ah.html
lebih baik kalo rujukannya di tambah seprti mengambil refrensi dari fathul qorib,iqna' dll
BalasHapusTrimakasih atas masukannya.. 👍👍
HapusOk. Sama2..👍👍👍
BalasHapus