Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

makalah sosiologi hukum

2 komentar



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial.

1.2  Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan hukum?
  2. Magaimanakah Teori para Ahli tentang hukum?
  3. Apa yang dimaksud perubahan sosial?
  4. Bagaimanakah perubahan Sosial?
  5. Apakah dampak dari prubahan sosial?


BAB II
Teori Hukum Dan Perubahan Sosial

2.1 Teori Hukum
2.1.1 Teori Hukum Sosiologis (Empiris)
Konsep-konsep yang mengidentifikasikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat, merupakan konsep hukum yang sosiologis, empiris atau antropologis (Abdurrahman, 1987).
Beberapa Teori Hukum Sosiologis :
1.      Teori Sibernetika : (Talcott Parsons).
Bahwa tingkah laku individu tidak merupakan tingkah laku biologis, tetapi harus ditinjau sebagai tingkah laku yang berstruktur. Tingkah laku seseorang harus ditempatkan dalam kerangka sistem sosial yang luas yang terbagi dalam sub sistem - sub sistem. Dalam garis besarnya, tingkah laku individu dibatasi oleh dua lingkungan dasar yang masing-masing bersifat fisik dan ideal, yaitu lingkungan fisik organik dan lingkungan realitas tertinggi. Diantara dua lingkungan dasar tersebut terdapat hierarkhis,  yaitu sub-sistem budaya dengan fungsi mempertahankan pola, sub-sistem social dengan fungsi integrasi, sub-sistem politik dengan fungsi mencapai tujuan dan sub-sistem ekonomi dengan fungsi adaptasi. (Soemitro, 1989 : 29)
2.      Teori Solidaritas : ( Emile Durkheim ).
Bahwa penyebab orang-orang terikat dalam satu kesatuan sosial ialah karena adanya solidaritas. Dari sini dapat dilihat adanya hubungan antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas dalam masyarakat. Solidaritas mekanis menghasilkan hukum represif yang bersifat menindak (Hukum Pidana), solidaritas organis menghasilkan hukum restitutif yang bersifat mengganti (Soemitro, 1989 :11-12).
3.      Teori Malinowski.
Bahwa setiap elemen dari hukum primitif, setiap tuntutan, ditentukan oleh kebutuhan untuk mempertahankan identitas kelompok (Soemitro, 1985 :27).
4.      Teori Kenneth S.Carlston.
Bahwa kelompok hancur atau cerai berai atau punah bukanlah hanya disebabkan karena hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya. Tugas hukum haruslah dijalankan sebab tugas ini merupakan kondisi yang tidak dapat digantikan dalam mencapai tujuan yang sebenarnya dari setiap kelompok. Hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan merupakan instrumen yang tidak dapat digantikan untuk mencapai tujuan biologis tertinggi yang nyata dari aktivitas manusia (Soemitro, 1985 :57).
5.      Teori Huntington Cairns.
Ilmu pengetahuan hukum sebagai suatu sociotecnique mampu membuat dan menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan, penggunaan hukum sebagai “a tool of social engineering” meliputi penggunaan peraturan-peraturan yang dirumuskan oleh lembaga-lembaga pembuat peraturan yang menimbulkan suatu akibat tertentu pada tingkah laku pemegang peran, yaitu untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu yang dikehendaki (soemitro, 1989 : 73).
6.      Teori Penegakan Hukum : Max Weber.
Penegakan hukum pada suatu masa berbeda dengan penegakan hukum pada masa yang lain, sebab perkembangan sosial dari masyarakatnya juga, supaya suatu penegakan hukum bisa diselenggarakan, diperlukan perlengkapan sosial tertentu (Rahardjo, 1986 : 194).
7.      Teori Kontrak Sosial : Emile Durkheim
Suatu kontrak itu tidak cukup untuk bisa berdiri sendiri, tetapi ia bisa dilakukan hanya karena adanya peraturan-peraturan yang mengaturnya dank arena merupakan sesuatu yang pada hakekatnya bersifat sosial (Rahardjo 1986 : 260).
8.      Teori Vilhelm Lundstedt
Hukum itu semata-mata merupakan fakta dari kenyataan sosial yang berwujud dalam kelompok-kelompok terorganisasi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan koeksistensi antara orang banyak (Rahardjo, 1986 : 270).
9.      Teori Alf Ross.
Norma adalah pengarahan yang berada dalam kaitan korespondensinya dengan fakta-fakta sosial, norma benar-benar bekerja karena dirasakan oleh para hakim mempunyai daya ikat sosial dan karenanya dipatuhi (Rahardjo, 1986 :270-271).
10.  Teori Eugen Ehrlich.
Bahwa hukum positif berbeda dengan hukum yang hidup (living law), hukum positif hanya akan efektif jika ia selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau pola-pola kebudayaan (culture patterns), pusat perkembangan hukum bukan terletak pada badan-badan legeslatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum tapi justru terletak pada kehidupan masyarakat itu sendiri (Soemitro 1984 : 20).
11.  Teori Rosecoe Pound.
Hukum merupakan alat pengendali sosial (social control) dan bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentingan-kepentingan, hukum juga berusaha untuk menyusun suatu kerangka nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan oleh hukum (Soemitro, 1985 :57).
12.  Teori Overmacht : Hazewinkel Suringa.
Suatu penyebab yang datang dari luar yang membuat suatu perbuatan itu menjadi tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pelakunya untuk setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap tekanan, dimana terdapat kekuatan, paksaan atau tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan (Lamintang, : 1984 : 208).
13.  Teori Hukum dan Perubahan Sosial : Schwart dan Miller
Hukum akan menjadi semakin kompleks manakala masyarakat mengalami spesialisasi yang semakin jauh (Rahasdjo, 1980 :102).
14.  Teori oleh Hayami Ruttan.
Teknologi akan lahir sesuai dengan kebutuhan objektif masyarakat, karena proses inovasi selalu dituntun oleh objektifitas masyarakat (Soemitro, 1989 : 100).
15.  Teori Karl F.Schuessler mengenai Pidana Mati.
Pidana mati adalah cara paling efektif untuk menakut-nakuti, bertolak dari pendapat bahwa tiap orang takut akan kematian dan sifat keefektifan itu tergantung dari penerapannya secara pasti dan rakyat tahu akan hal ini (Rahardjo, 1980 : 126).
16.  Teori John Hopkins dan Baltimore
Lembaga penelitian dan lembaga-lembaga penelitian dalam suatu masyarakat secara fundamental akan selalu reponsif terhadap kebutuhan masyarakat itu, ini berarti bahwa bila teknologi itu dicipktakan pada suatu lingkungan wilayah tertentu, maka teknologi itu tidak mungkin irrelevant di wilayah tersebut, hal-hal demikian dapat merupakan bahan untuk dituangkan dalam bentuk hukum (Soemitro, 1989 : 100).
17.  Teori oleh Siedman.
Tata hukum itu merupakan saringan, yang menyaring kebijaksanaan pemerintah sehingga menajdi tindakan yang dapat dilaksanakan (Rahardjo, 1980 :113)
18.  Teori Kontrak : Macaulay
Para pihak dalam melakukanb transaksinya menyadarkan pada cara kontraktual, namun adanya sanksi hukum pada kontrak tersebut tidak mempunyai hubungan yang bersifat mendesak dengan transaksi yang dibuat oleh para pihak (Rahardjo, 1980 : 122-123)
19.  Teori Von Savigny.
Bahwa antara hukum dan keaslian secara watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis, sehingga menjadi satu kesatuan yang menimbulkan kepercayaan yang sama dari seluruh rakyat serta sentimen yang sama dari seluruh rakyat serta sentimen yang sama pula tentang apa yang merupakan keharusan, yang kesemuanya itu menolak adanya gagasan yang bersifat aksidentak dan arbiter (Rahardjo, 1980 :42).

2.1.2 Teori Hukum Normatif.
Konsep-konsep mengenai hukum sebagai norma kaidah undang-undang dan peraturan merupakan konsep-konsep hukum yang bersifat positivitis dogmatis, normative, legistis (Soemitro, 1989 : 1).
1.      Teori Hukum Murni (Hans Kelsen)
      Menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat idoelogis, oleh karena dianggapnya irasional. Hukum tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. (Rahasdjo, 1991 :273).
2.      Stufent Theorie (Hans Kelsen).
      Tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkrit, sampai kepada yang paling konkrit. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan (Rahardjo, 1991 : 275 Dikutip dari Dias, 1976 : 503).
3.      Teori John Austin.
      Yang sesungguhnya disebut hukum adalah sesuatu jenis perintah. Tetapi, karena ia disebut perintah, maka setiap hukum yang sesungguhnya, mengalir dari satu hukum yang pasti. Apabila suatu perintah dinyatakan atau diumumkan, satu pihak menyatakan suatu kehendak agar pihak lain menjalankannya atau membiarkan itu dijalankan. (Rahardjo, 1991 : 28 Dikutip dari Friedmann, 1953 :152).
4.      Teori Zevenbergen.
      Norma hukum adalah norma penilai dengan kualitas itu ia menjadi norma ideal dan norma kultur, ia tidak melukiskan kenyataan melainkan melakukan penilaian dengan menunjukkan apa yang seharusnya terjadi dan dilakukan. Oleh karena itu, untuk memahami struktur logis, orang tidak boleh melihatnya dari segi dasein melainkan dari segi das sollen, yang tersusun dari penilaian-penilaian hipotetis (Rahadjo, 1986 : 71).
5.      Teori Kepatuhan Hukum : Schuyt.
      Hukum dipatuhi karena dipaksakan oleh sanksi dan kepatuhan akan diberkan pula atas dasar persetujuan yang diberikan para anggota masyarakat terhadapat hukum karena mereka memerlukannya.( Rahardjo, 1986 : 174).
6.      Teori Perkembangan Hukum : Max Weber.
      Kecenderungan umum dalam perkembangan hukum modern adalah untuk menjadi makin rasional.
      Perkembangan itu melalui tahap-tahap yaitu :
a.       Penngadaan hukum melalui pewahyuan (relevation) secara kharismatis,
b.      Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para legal honoratiores yaitu penciptaan hukum oleh para kautelarjuristen (cautelary jurisprudence),
c.       Pembebanan (imposition) hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler atau teokratis,
d.      Penggarapan hukum secara sistematis dan penyelenggaraan hukum yang dijalankan secara profesional oleh orang-orang yang mendapatkan pendidikan hukum dengan cara ilmiah dan logis-formal (Rahadjo : 39).
7.      Teori Thomas Aquinas.
      Hukum adalah peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya. Oleh karena dunia ini diatur oleh tatanan ketuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membedakan empat macam hukum yaitu :
      Lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana (Rahardjo, 1991 : 264).



8.      teori Pemidanaan : Bentham
      Manusia akan berbuat sedemikian rupa sehingga ia mendapat kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Penilaian etis terhadap kejahatan dan pemidanaan dilihat dari segi suatu perbuatan itu, apakah perbuatan membawa kepada suatu kebahagiaan atau sebaliknya. Pemidanaan hanya bias diterima jika ia memberikan harapan, bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar (Rahardjo, 1986 :239).
9.      Teori Aristoteles.
      Hukum itu merupakan pembadanan dari akal yang bebas dari nafsu-nafsu. Hanya Tuhan dan akal saja yang boleh memerintah (Rahardjo, 1991 : 257).
10.  Teori Cicero.
      Hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar yang sesuai dengan alam, ia bisa diterapkan dimanapun, tidak berubah dan abadi, ia menuntut kewajiban melalui perintah-perintahnya dan mencegah perbuatan yang salah melalui larangan-larangannya (Rahardjo, 1991 : 259).
11.  Teori Paul Scholten
      Asas-asas hukum sebagai tendens-tendens, yang dituntut dari hukum oleh rasa susila kita, yang dapat diketemukan dengan menunjukan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggpan, yang memancarkan pengaturan suatu “lapangan hukum”(Sudarto, 1983 : 19).
12.  Teori De Langen.
      Asas-asas hukum itu adalah ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan, yang hidup di setiap orang, dorongan-dorongan batin dari pembetuk undang-undang, ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang (Sudarto, 1983 :19).
13.  Teori wiarda
      Asas-asas hukum itu untuk sebagian dapat diketemukan dengan menyelidiki fikiran-fikiran yang memberi arah/pimpinan, yang menjadi dasar kepada tata hukum yang ada, sebagaimana dipositifkan dalam undang-undang dan yurisprudensi, dan untuk sebagian berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang secara langsung dan jelas sekali menonjol kepada kita (Sudarto, 1983 :19).
14.  Teori Kontrak Sosial : Beccaria
      Tiap individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya secukupnya kepada Negara, agar masyarakat tersebut dapat berlangsung secara terus. Oleh karena itu hukum seharusnya hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang dijadikan pedoman adalah sebanyak-banyaknya (Muladi, 1992 : 30).



15.  Teori Garofalo tentang hukum.
      Definisi hukum dari kejahatan hanya merupakan undang-undang terhadap tipe-tipe perilaku tertentu. Hal ini tidak dapat memberikan penjelasan kepada mereka yang ingin mencari informasi lebih lanjut terhadap kejahatan. Untuk menerangkan mengapa orang-orang berbuat jahat, ia mengusulkan suatu konsep yang dinamakan konsep kejahatan natural (Muladi, 1992 :35).
2.2  Perubahan Sosial
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.
Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memaaukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.
Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.
Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan. Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural.




2.2.1        Penyebab Perubahan Sosial
1.     Dari Dalam Masyarakat
ü  Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk ini meliputi bukan hanya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau sebaiiknya, tetapi juga bertambah dan berkurangnya penduduk
ü  Penemuan-penemuan baru (inovasi)
Adanya penemuan teknologi baru, misalnya teknologi plastik. Jika dulu daun jati, daun pisang dan biting (lidi) dapat diperdagangkan secara besar-besaran maka sekarang tidak lagi.
Suatu proses sosial perubahan yang terjadi secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sering disebut dengan inovasi atau innovation. Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian Discovery dan Invention
Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan baru baik berupa alat ataupun gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.
Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui dan menerapkan penemuan baru itu.
ü  Pertentangan masyarakat
Pertentangan dapat terjadi antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok.
ü  Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi
Pemberontakan dari para mahasiswa, menurunkan rezim Suharto pada jaman orde baru. Munculah perubahan yang sangat besar pada Negara dimana sistem pemerintahan yang militerisme berubah menjadi demokrasi pada jaman refiormasi. Sistem komunikasi antara birokrat dan rakyat menjadi berubah (menunggu apa yang dikatakan pemimpin berubah sebagai abdi masyarakat).
2.     Dari Luar Masyarakat
ü  Peperangan
Negara yang menang dalam peperangan pasti akan menanamkan nilai-nilai sosial dan kebudayaannya.
ü  Lingkungan
Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, dll yang mengakibatkan penduduk di wilayah tersebut harus pindah ke wilayah lain. Jika wilayah baru keadaan alamnya tidak sama dengan wilayah asal mereka, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan di wilayah yang baru guna kelangsungan kehidupannya.
ü  Kebudayaan Lain
Masuknya kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan.

2.2.2     Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial
a. Faktor-faktor Pendorong
1.     Intensitas hubungan/kontak dengan kebudayaan lain
2.     Tingkat Pendidikan yang maju
3.     Sikap terbuka dari masyarakat
4.     Sikap ingin berkembang dan maju dari masyarakat
b.      Faktor-faktor Penghambat
·         Kurangnya hubungan dengan masyarakat luar
·         Perkembangan pendidikan yang lambat
·         Sikap yang kuat dari masyarakat terhadap tradisi yang dimiliki
·         Rasa takut dari masyarakat jika terjadi kegoyahan (pro kemapanan)
·         Cenderung menolak terhadap hal-hal baru


2.2.3   Dampak Akibat Perubahan Sosial
Arah perubahan meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya.
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.
Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.
Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan kompleks.


BAB  III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :
v  Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
v  Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi.
v  Perubahan sosial selalu menimbulkan perubahan dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negative dari sisi positif misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati seluruh kelompok sosial masyarakat.

3.2  Saran
Perubahan sosial dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, olehnya itu kita sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha mengendalikan perubahan itu ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari perubahan sosial dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.


DAFTAR PUSTAKA


Aris Tanudirjo, Daud. 1993. Sejarah Perkembangan Budaya di Dunia dan di Indonesia. Yogyakarta:Widya Utama

Gumgum Gumilar, 2001. Teori Perubahan Sosial. Unikom. Yogyakarta.

Soekmono, R.tt. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta:Kanisius

Suyanto, 2002. Merefleksikan Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Kompas, 17 Desember 2002, hal. 5.




2 komentar:

  1. terima kasih kak blog nya sangat membantu i sekali, semoga sukses selalu kak

    Saya thasya nur oktavia dari ISB Atma Luhur

    BalasHapus
  2. sangat bermanfaat. terimakasih saudara

    BalasHapus