Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

Makalah Fikih Mu'amalah Kontemporer Tentang ISTIHSAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM EKONOMI SYARIAH DAN KEUANGAN KONTEMPORER

0 komentar



MAKALAH FIKIH MUAMALAH KONTEMPORER
Tentang
“ISTIHSAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM EKONOMI SYARIAH DAN KEUANGAN KONTEMPORER”
Dosen Pengampu :
Ust. SUHADI, S.E.I





D I S U S U N :
Nama                   : M. SAIFUL FALAH
NIMKO     : (2018 21 0007 )
Prodi          : Hukum Ekonomi Syariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
AS-SHIDDIQIYAH
TAHUN AKADEMIK 2019
JL. Lintas Timur Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sum-Sel


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih, lagi maha penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, karena atas hidayah dan innayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Istihsan” ini.
Makalah ini telah kami tulis dengan maksimal berdasarkan sumber referensi yang kami dapatkan. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seepenuhnya  bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami  menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kamidapat memperbaiki makalah ini.
            Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Lempuing Jaya,      Oktober 2019
                                                                        Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii  
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi dan Dasar Istihsan.................................................................... 3
B. Klasifikasi Istihsan sebagai Metode Ijtihad............................................ 5
C. Pandangan Fukaha tentang Otoritas Istihsan......................................... 6
D. Aplikasi Istihsan dalam Masalah Ekonomi dan Keuangan Syariah....... 7

BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 11
B. Saran....................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 12



BAB I
PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG
Sumber hukum islam yang disepakati ulama adalah al Qur’an, Hadits, Ijma, Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan.

B.            RUMUSAN MASALAH
1.             Apakah definisi dari istihsan?
2.             Ada berapakah klasifikasi istihsan sebagai metode ijtihad?
3.             Bagaimana pandangan fukaha tentang otoritas istihsan?
4.             Apa saja aplikasi istihsan dalam masalah ekonomi dan keuangan syariah?



BAB II
PEMBAHASAN

A.           DEFINISI DAN DASAR ISTIHSAN
Istihsan dari segi bahasa ialah: berasal dari kata kerja bahasa Arab  استحسان. yang berarti memperhitungkan dan meyakini sesuatu itu baik, atau mengikuti sesuatu yang baik menurut perasaan dan fikiran.
حَسَنَ مِنْ مُشْتَقٌ وَهُوَ حَسَنًا عَدَالشَيْءَ
Artinya: “Sesuatu yang dianggap baik, istihsan itu berasal dari kata “hasana” yang berarti baik atau indah.
Secara etimologis, istihsan mengandung arti “mencari yang lebih baik”.
Adapun pengertian istihsan menurut terninologis dapat analisis dari definisi yang dikemukakan para ahli ushul berikut:
Menurut al-Syarakhsi dari Mazhab Hanafiyah:
·                Istihsan adalah berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang diperintahkan untuk dilaksanakan.
·                Istihsan adalah meninggalkan qiyas dan menggunakan yang lebih kuat dari padanya, karena adanya dalil yang menghendaki dan lebih sesuai untuk merealisasikan kemaslahatan manusia.
Menurut Ibnu Subki dari Mazhab Syafi’iyah:
·                Istihsan adalah beralihnya dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang lebih kuat daripadamya (qiyas pertama).
·                Istihsan adalah beralihnya suatu dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
Menurut al-Syatibi dari Mazhab Malikiyyah:
·                Ihtisan adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’I sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf dari ulama kontemporer:
·                Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (jelas) kepada ketentuan qiyas khafi (samar), atau dari ketentuan yang umum (kulli) kepada ketentuan hukum yang sifatnya khusus (juz’i), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan dimaksud.
Berdasarkan definisi diatas, bahwa istihsan berkisar pada dua hal: pertama, bahwa istihsan merupakan perpindahan atau meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar-samar (tersembunyi) karena ada alasan kuat yang menghendakinya. Kedua, bahwa istihsan juga meninggalkan ketentuan kulliy dan mengamalkan ketentuan yang juz’i (khusus) sebagai pengecualian dari ketentuan kulliy, atau mengkhususkan qiyas karena ada alasan dalil yang lebih kuat.
Dari rumusan definisi tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa istihsan, yaitu adanya dua pilihan atas salah satu dari dua ‘illat yang tingkat kekuatannya tidaksama. Tingkat kekuatan yang dimaksud di sini yaitu ada yang jelas dan ada yang tersembunyi. Sebagian ulama memilih ‘illat yang tersembunyi, karena pertimbangan khusus. Ulama Hanafiah menanamkan istihsan semacam ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi, sementara ulama-ulama pendukung Mazhab Malikiyah menanamkannya mashalih al-mursalah.
Dasar yang dijadikan sandaran istihsan adalah dalil dari Al-Qur’an dan sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti firman allah SWT dalam QS.al-Zumar [39]: 18.
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.

Ayat lain, artinya:
Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. (QS.az-Zumar [39]: 55).

Selain ayat, juga bersumber dari hadis yang artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apayang dipandang sesuatu yang buruk, maka di sisi Allah adalah buruk pula”.
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan, di sini tidak ada hal lain yang memalingkan pemerintah ini dari hukum wajib.maka ini menunjukkan bahwa istihsan adalah hujjah. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan ke-hujjah-an istihsan.

B.            KLASIFIKASI ISTIHSAN SEBAGAI METODE IJTIHAD
Sebagai mana dijelaskan bahwa istihsan merupakan metode ijtihad yang dipegangi oleh kalangan Mazhab Hanafiyah. Istihsan sebagai metode ijtihad dapat dibagi menjadi enam bagian sebagai berikut:
1.           Istihsan bi an-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadis). Yaitu peralihan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan teks Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya, tentang jual beli salam (pesanan) dan masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak bercakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
2.           Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan kepada ijma’) yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. Misalnya,dalam kasus pemandian umum.
3.           Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan. Misalnya, dalam waqaf lahan pertanian.
4.           Istishan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan.
5.           Istihsan bi al-‘urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu peralihan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya ‘urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan,minum, dan pakaiannya.
6.           Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan kondisi darurat). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudaratan. Misalnya, dalam kasus sumur yang kemasukan najis.

C.           PANDANGAN FUKAHA TENTANG OTORITAS ISTIHSAN
Para fukaha yang menggunakan istihsan adalah imam Abu Hanifah, Imam Malik dan sebagian pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Argumentasi mereka adalah penelitian terhadap beberapa peristiwa hukum dan ketentuan hukumnya yang membuktikan bahwa terus-menerusnya berlaku ketetapan qiyas, berkelanjutannya ketetapan umum dan menyeluruhnya ketetapan kulli, kadang-kadang membawa hilangnya maslahat dan sebaliknya akan membawa mafsadat.
Menurut al-Syatibi, istihsan yang telah dipakai oleh imam mazhab bukanlah semata-mata didasarkan pada logika murni dan mengikuti hawa nafsu, tetapi sebenarnya semuanya dikembalikan kepada maksud syara’ yang umum dalam peristiwa-peristiwa yang dikemukakan yang sifatnya kontekstual demi terwujudnya maqashid syari’ah. Sebagai contoh dibolehkannya memeriksa aurat tubuh untuk kesehatan. Ini merupakan pengecualian dari kaidah umum yang mengharamkannya.
Husain Hamid Hassan menjelaskan, bahwa dasar pemakaian istihsan menurut imam Malik, kembali kepada teks dari dua segi: pertama, kaidah istihsan merupakan kaidah yang diambil dari dalil syara’ dengan cara induksi yang memberi faedah qath’i, bukan mengemukakan pendapat akal atau mengikuti hawa nafsu semata. Kedua, kaedah istihsan, mujtahid kembali kepada dalil syara’ yang diambil dari induksi nash-nash syariat. Ijma’ dan ‘’urf telah diakui ke-hujjah-annya oleh nash syariat. Adapun maslahah mursalah bila dihapkan dengan qiyas berarti beramal dengan nash-nash yang mendukung maslahat daripada qiyas.
Demikian pula Mazhab Hanafi memberi penjelasan tentang istihsan tidak berbeda dengan Mazhab Malik. Al-Taftazani mengemukakan bahwa istihsan merupakan suatu dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama karena istihsan didasarkan kepada nash, ijma’ darurat, atau kepada qiyas khafi. Apabila diperhatikan dari sandaran-sandaran istihsan, maka tampak jelas bahwa istihsan yang sandarannya qiyas khafi sesungguhnya termasuk juga turuk istinbat dengan qiyas. Oleh karena itu, di sini istihsan hanya mentarjih satu qiyas atau qiyas lainnya. Dalam hal ini qiyas khafi memang diperlukan untuk menghindarkan diri dari kejanggalan-kejanggalan hukum yang timbul akibat menerapkan qiyas jali secara mutlak. Adapun qiyas yang sandarannya darurat dan raf’ul kharaj pada hakikatnya aturan-aturan tersebut berkaitan erat dengan kemaslahatan. Dengan demikian, hanya tinggal dua sandaran istihsan yaitu istihsan yang sandarannya al-‘adah al-sahihah dan istihsan yang sandarannya kemaslahatan.

D.           APLIKASI ISTIHSAN DALAM MASALAH EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH
Dalam pengembangan hukum ekonomi syariah istihsan sangat strategis perannya. Hal ini karena metode ini memiliki daya kepekaan yang tinggi terhadap perubahan sosial masyarakat dalam kehidupan yang serba cepat dan canggih. Berikut ini aplikasi metode istihsan dalam merespon perkembangan transaksi bisnis dan keuangan syariah kontemporer.
1.             Pembiayaan Salam Paralel
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Berdasarkan undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998.

Salam secara etimologis artinya pendahuluan, dan secara muamalah adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang yang dibeli masih dalam tangguhan penjual, di mana syaratnya ialah mendahulukan pembayaran pada waktu akad. Secara terminologis, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya. Spesifikasi barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika barang pesanan yang dikirim tidak sesuai dengan spesifik dalam akad. Maka bank syariah akan mengembalikannya kepada penjual.

Akad salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara pemesanan pembeli dan penjual serta antara penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya. Hal ini terjadi ketika penjual tidak memiliki barang pesanan dan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut.

2.             Jual Beli Via Vending Machine
Seperti yang diketahui bersama, bahwa di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, di Departemen Store,, Supermarket, Café, Halte Bus, sudanh banyak dilengkapi fasilitas Vending Machine sebagai alat atau mesin untuk menjual barang secara otomatis.

Vending Machine sebagai alat menjual barang secara otomatis sangat praktis. Karena mesin tersebut tidak membutuhkan tenaga operator untuk menjual barang tersebut. Sementara pembeli dapat membelinya sesuai dengan keinginannya dengan memasukkan sejumlah uang sesuai harga barang yang ditetapkan, lalu menekan tombol pada barang yang diinginkan, maka secara otomatis barang itu akan keluar dengan sendirinya. Bahkan, jika uang yang membutuhkan uang kembalian, mesin secara otomatis juga akan memberikan kembalian secara otomatis pula.

Jual beli semacam ini, tidak membutuhkan ijab Kabul seperti akad jual beli seperti biasanya. Akan tetapi, transaksi ini sudah menunjukkan perelaan kedua pihak (pembeli/penjual). Untuk melakukan transaksi tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan istihsan, transaksi semacam ini dibolehkan berdasarkan kebiasaan (‘urf) yang berkembang di masyarakat.

3.             Jual Beli Istisna pada Bank Syariah
Istisna’ atau pemesanan secara bahasa berarti meminta dibuatkan. Transaksi jual beli al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.

Produk istisna menyerupai produk salam tetapi dalam istisna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran.

4.             Istihsan Jual Beli Kredit (Bai’ Taqsith)
Bai’Taqsith sama dengan jual beli kredit atau disebut juga sebagai al-bai’ bitsamanil ajil atau al-bai’ila ajal. Adapun definisinya adalah jual beli secara cicilan dalam jangka waktu tertentu dimana harga kredit lebih tinggi (bertambah) dari harga cash (naqd). Harga kredit 1 tahun berbeda dengan harga 2 tahun, dan seterusnya.


5.             Tawwaruq Muktiguna untuk Pembiayaan Produktif
Pembiayaan multiguna dapat menggunakan skim Tawarruq emas atau bai’ al-wafa wal ijarah yang disebut dengan bai’ istighlal (lihat qanun al-Majjalah al-ahkam al-adliyah). Mayoritas ulama menyetujui bai’ tawarruq, namun umar bin abdul aziz,ibnu Taymiyah dan ibnu Qayyim memakruhkannya.
Kalau berpegang pada pendapat mayoritas ulama, maka penerapan tawwaruq,tidak bermasalah. Namun jika berpegang pada pendapat umar bin abdul aziz ibnu Taymiyah dan ibnu Qayyim, yang kemakhrukannya, maka hal itu dapat dihilangkan dengan metode istihsan.











BAB III
PENUTUP

A.           KESIMPULAN
1.             Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
2.             Sebagai metode ijtihad, istishan diklasifikasikan menjadi 6 bagian, yaitu : berdasarkan ayat atau hadis, berdasarkan ijma’, berdasarkan qiyas yang tersembunyi, berdasarkan kemaslahatan, berdasarkan adat kebiasaan, dan berdasarkan kondisi darurat.
3.             Pandangan fukaha tentang istishan dapat terbagi menjadi:
·                    Kelompok yang menerima istihsan (Mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Mereka berpandangan bahwa istishan merupakan metode ijtihad yang dapat diterima dan diaplikasikan dalam pengembangan hukum islam.
·                    Kelompok yang menolak istishan (Mazhab Syafi’iyah dan Zahiriyah) mereka berpandangan bahwa istishan tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
4.             Berikut ini aplikasi metode istishan dalam masalah ekonomi dan keuangan syariah :
·               Pembiayaan Salam Paralel
·               Jual Beli Via Vending Machine
·               Jual Beli Istisna pada Bank Syariah
·               Jual Beli Kredit (Bai’ Taqsith)
·               Tawarruq Multiguna untuk Pembiayaan Produktif.

B.            SARAN
Diharapkan hukum-hukum fiqih islam terutama yang telah ditetapkan melalui metode-metode istihsan alangkah baiknya diterapkan kedalam kehidupan sehari-hari, agar memperoleh ridho dari Allah SWT. Namun sebelum melakukannya kita juga harus melihat permasalahannya apakah sesuai dengan syariat islam atau tidak.






DAFTAR PUSTAKA

Djazuli H. A., Ilmu Fiqih,Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
Mufid, Mohammad. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Wahab Kalaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
https://islam.nu.or.id/post/read/99312/istihsan-dalam-konsep-ekonomi-syariah Diakses Pada Tanggal 05 Oktober 2019 Pukul 19.00 WIB
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1184226231 Diakses Pada Tanggal 05 Oktober 2019 Pukul 20.00 WIB

0 komentar: