Makalah Aswaja Tentang MADZAHIBUL ARBA’AH
MAKALAH ASWAJA
Tentang
“MADZAHIBUL ARBA’AH”
Dosen
Pengampu :
Ust.
ROFI’I, M.Pd.I
D
I S U S U N :
1. ANIS KHUSNUL KHOTIMAH
(NIM :
2019 11 0012)
2. DESI RETNO SARI
(NIM :
2019 11 0010)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM ( STAI )
AS-SHIDDIQIYAH
TAHUN AKADEMIK 2019
JL.
Lintas Timur Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya
Kabupaten
Ogan Komering Ilir Provinsi Sum-Sel
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih, lagi maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, karena atas hidayah
dan innayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Madzahibul Arba’ah” ini.
Makalah ini telah kami tulis
dengan maksimal berdasarkan sumber referensi yang kami dapatkan. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua
itu, kami menyadari seepenuhnya bahwa
masih banyak kekurangan baik dari segi kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kamidapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir
kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Lempuing Jaya, Oktober 2019
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian
Madzhab.............................................................................. 3
B. Sejarah Munculnya Madzhab................................................................. 3
C. Sejarah
Singkat Imam Empat Madzhab................................................. 5
D. Perbedaan Madzhab............................................................................... 9
E. Metode
Imam Empat Madzhab Dalam Bidang Fiqh.............................. 10
F. Pendapat
Imam Empat Madzhab Dalam Bidang Selain Fiqh (Filsafat). 14
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 16
B. Saran....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam, sebuah
agama dan sebuah fenomena yang tak dapat diingkari keberdaannya di dunia ini,
sebab itu pula Islam menjadi bahan pembicaraan di sana-sini bahkan untuk orang
yang bukan Islam sendiri. Islam mengandung banyak ajaran di dalamnya baik yang
berupa eksplisit maupun yang implisit. Betapapun hal itu tidak akan mengurangi
kualitas Islam dan kemegahan Islam sebagai agama yang universal, tak terbatas
zaman, dan agama yang hak, bukan yang lain.
Meskipun begitu
tidak semua orang dapat memahami teks dan ayat yang tersirat dari dua pokok
pegangan Islam yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu terdapat banyak
cara untuk mengetahuinya, diantaranya melalui dalil-dalil akal, yang dalam hal
ini adalah kalam dan filsafat, walau keduanya tampak berbeda pada hasil dan
metodenya, namun keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencari sebuah
kebenaran yang hakiki.
Pada penekanan
ritual ibadah, baik yang vertikal atau horisontal sesama makhluk, terdapat ilmu
fiqh. Dari situlah lahir imam-imam agung panutan ummat, yang terbesar adalah
madzahibul arba’ah (imam madzhab empat). Adapun pendapat mereka dalam hal fiqh,
sudah tidak asing lagi, namun bagaimana pendapat mareka tentang tauhid,
filsafat, dan kalam. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan konsep-konsep
pendapat mereka yang notabennya merupakan sebuah identik argumen dalam hal
selain fiqh.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Yang Dimaksud Dengan Madzhab?
2.
Bagaimana Sejarah Munculnya Madzhab?
3.
Bagaimana Sejarah
Singkat Empat Imam Madzhab?
4.
Bagaimana Perbedaan Madzhab?
5.
Bagaimana Pandangan Imam Empat Madzhab Dalam Bidang Fiqh?
6.
Bagaimana Pendapat
Imam Empat Madzhab Dalam Bidang Selain Fiqh (Filsafat)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MADZHAB
Menurut bahasa dalam kamus, al-munjid fi al-lughah wa
al-‘alam,[1]
dijelaskan
bahwa madzhab mempunyai dua pengertian:
Pertama, kata madzhab berasal dari kata:
ذَهَبَ يَذْهَبُ ذَهْبًا وَ ذُهُوْبًا
وَمَذْهَبًا (سَارَ, مَضَى, مَاتَ)
Yang memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu,
telah mati.
Kedua, yaitu
yang
mempunyai arti, sesuatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan
pemikiran. Oleh karena itu,(تَمَذْهَبَ)
bisa berarti mengikuti madzhab (مَذْهَبٌ), kata (مَذْهَبٌ) jamaknya adalah (مَذَاهِب) yang berarti, yang diikuti/dijadikan pedoman
atau metode. Sementara asal pertama madzhab dalam islam hanya ada empat
madzhab, (hanafi, maliki, syafi’i dan hambali).
Secara
terminologis, ada beberapa tokoh yang memberikan pengertian mengenai madzhab itu sendiri,
diantaranya adalah Huzaemah Tahido Yanggo, beliau berpendapat bahwa madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau meng-istinbat-kan
hukum Islam. Selanjutnya madzhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok
umat Islam yang mengikuti cara istidlal Imam Madzhab tertentu atau mengikuti
pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.[2]
B.
SEJARAH MUNCULNYA MADZHAB
Proses lahirnya madzhab pada dasarnya adalah usaha
para murid yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat
dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam madzhab, sehingga
memudahkan tersebarnya dikalangan masyarakat
karena imam madzhab tersebut
tidak mengklaim sebagai madzhab. Secara umum, madzhab berkaitan erat
dengan nama imam dan tempat.[3]
Sejarah lahirnya madzhab fiqh dimulai dari dua
aliran fiqh, yaitu ahlu ar’yu dan
ahlu al-hadits atau dikenal dengan sebutan madrasah ar’rayu dan
madrasah al-hadits.
a.
Madrasah al-hadits dikenal juga dengan madrasah hijaz
dan madrasah al-madinah. Madrasah hijaz dikenal sangat kuat berpegang dengan hadits, karena mereka banyak
mengetahui hadits-hadits rasulullah, disamping itu kasus-kasus yang mereka
hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam
berijtihad, karena ulama hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki
budaya homogen.
b.
Madrasah ar-ra’yu dikenal juga dengan madrasah al-iraq
dan madrasah al-kufah.
Madrasah al-iraq dalam menjawab pemasalahan
hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad, hal ini disebabkan
karena keberadaannya yang jauh dari madinah sebagai pusat hadits dengan kata lain, hadits-hadits yang
sampai pada mereka terbatas, dan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih
berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dalam perkembangannya, ada 18 madzhab, sebagian
diantaranya masih ada dan terus berkembang sampai sekarang. madzhab tersebut
terbagi pada tiga madzhab besar yang ada sampai sekarang, yaitu;
a.
Sunni, sunni diwakili oleh madzhab
hanafi,syafi’i,maliki, dan hambali.
b.
Syiah, syiah terdiri dari zaidiyah, syi’ah imamiyah
(ja’fari), dan ismailliyah.
c.
Khawarij, khawarij diwakili oleh madzhab ‘ibadi.
Secara umum tiap-tiap madzhab memiliki ciri khas tersendiri, hal ini
karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode untuk menggali
sebuah hukum, akan tetapi perbedaan itu hanya terbatas pada masalah-masalah furu’
bukan masalah prinsipil atau pokok syariat. Mereka sependapat bahwa semua
sumber atau dasar syariat adalah al-qur’an dan sunnah Nabi. Semua hukum yang
berlawanan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan,
mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan
berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat islam.
C.
SEJARAH SINGKAT
IMAM EMPAT MADZHAB
1.
Imam Hanafy (80
– 182 H)
Pendiri dari madzhab Hanafi adalah
Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan
bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah
dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah,
menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota
Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar,
yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari
Babilonia.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah
cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali
Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan
keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah
subhanahu wata’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah
At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya
toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Beliau sempat bertemu dengan Anas
bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar
dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan
syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj,
Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah,
Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu
Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak
lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Adapun orang-orang yang belajar
kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang
disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad
diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Muhammad bin Hasan
Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi,
Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub
Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu
Yusuf, dan lain-lain.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah
tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu
Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi
beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi
harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan
kedalam penjara dan wafat dalam penjara. Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada
tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada
yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
2.
Imam Maliky (93
– 179H)
Imam Malik yang bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan
wafat tahun 179 H/796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial
tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya
adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke
Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama
Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat
terkenal.
Karena keluarganya ulama ahli
hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan
paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal
seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa,
Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah
Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat,
juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah
menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai
dari Al Mansur, Al Mahdi Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam
Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu
dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah
riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang. Beliau wafat
pada tahun 179 hijrah ketika berumur 86 tahun dan meninggalkan 3 orang putera
dan seorang puteri.
3.
Imam Syafi’i
(150 – 204 H)
Madzhab ini dirintis oleh Abu
Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Asy Syafi’i Al Muthallabi
keturunan Quraisy. Beliau dilahirkan di kota Gaza, kemudian dibawa ke Asqaalan.
Ketika berusia 2 tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan hidup bersama orang Yaman,
karena ibunya keturunan dari suku Azdiyah. Usia 10 tahun beliau di bawa ke
Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap.
Dalam usia 7 tahun beliau telah
menghafalkan Al Qur’an. Usia 10 tahun hafal kitab Al Muwattha’ karya Imam
Malik, kemudian usia 12 tahun atas izin dari guru beliau Khalid Az Zanji,
beliau berfatwa. Beliau juga banyak menghafal syair Hudzail. Setelah itu pergi
ke Madinah untuk belajar fiqh pada Imam Malik, setelah itu kepada Sufyan Bin
Uyainah. Dari hasil menggadaikan rumahnya sebesar 16 dinar Imam Syafi’i pergi
ke Yaman, sambil bekerja beliau berguru pada Ibnu Abi Yahya dan lainnya.
Saat pemerintahan Harun Al Rasyid,
terjadi fitnah Alawiyyin, sehingga beliau terkena dampaknya. Beliau bersama
alawiyyin lainnya diikat dan digiring ke Irak sambil disiksa. Keluar dari
penjara, beliu berguru pada Imam Muhammad bin Hasan. Ketika zaman khalifah Al
Makmun, beliau pergi ke Mesir kemudian membuka halaqah di masjid Amr Bin Ash,
karena banyak terjadi penyelewengan dan bid’ah.
4.
Imam Hambali
(164 – 241 H)
Bernama Muhammad as Syaibani bin
Hambali. Lahir di masa pemerintahan Muhammad al Mahdi, dinasti Bani Abbasiyah,
bulan Rabiul Awwal 164 Hijriyah (780 Masehi). Keadaan kecilnya tak banyak beda
dengan Imam Syafi’i, yatim.
Di antara empat Imam madzab, beliau tergolong
bungsu dan terakhir. Sudah menjadi sunatullah, setiap orang besar dan
berderajat tinggi di sisi Allah, niscaya mendapatkan ujian berat. ujian itu
sengaja turun dari hadirat-Nya, untuk manusia, supaya terbukti di tengah
khalayak, apakah ia loyang atau emas. Jika emas, sekalipun tersuruk di
comberan, ia akan tetap sebagai emas yang kemilau.
Ulama besar yang berani lantang
mengatakan bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk ialah Imam Hambali. Beliau
menegaskan bahwa al -Qur’an kalamullah (firman Allah), bukan makhluk. Imam
Hambali wafat dalam usi 77 tahun. Kematiannya sempat menebarkan kabut duka di segenap
wilayah kerajaan Bani Abbasiyah. Baginda al Mutawakkil sendiri turut berduka
mendalam atas kematian seorang yang pernah diperlakukan aniaya oleh leluhurnya
dulu.[4]
D.
PERBEDAAN MADZHAB
Secara terminologi, ikhtilaf erat kaitannya dengan
pengertian bahasa dan istilah. Secara bahasa, ikhtilaf artinya perbedaan,
perselisihan, dan perdebatan panjang.
Menurut istilah, Thaha Jabir menjelaskan:
الإختلاف والمخالفة أن ينهج كل شخص طريقا
مغايراللاخر فى حاله أو فى قوله.
Artinya: Ikhtilaf atau mukhalifah, proses yang dilalui
dengan metode yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya dalam
bentuk perbuatan atas perkataan.
Ikhtilaf pada akhirnya muncul sebagai ilmu mandiri
yang dikenal dengan khilaf dan ilmu khilaf. yaitu ilmu yang membahas
kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan oleh
para imam madzhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa sandaran
yang jelas kepada dalil yang dimaksud (khusus).
Adapun yang menjadi tekanan dalam ilmu ini adalah cara membahas persoalan
yang sangat berkaitan dengan validitas, sebagaimana imam madzhab melakukannya.
Selain itu, ilmu ini juga menekankan cara menetapkan hukum yang sesuai dengan
apa yang dilakukan oleh imam madzhab sebelumnya, dan sekaligus untuk menolak
perselisihan yang tidak diharapkan.[5]
Faktor-faktor penyebab ikhtilaf dapat dibagi menjadi
empat faktor, yaitu :
a.
Bahasa nash al-qur’an atau al-hadits
b.
Validitas al-hadits
c.
Kaidah ushuliyah
d.
Kaidah fiqhiyah
Faktor-faktor tersebut pada dasarnya bermuara kepada
faktor bahasa, yang kemudian menyebabkan ikhtilaf, baik dari segi ushul atau
pun kaidah fiqh. Selain itu problematika kebahasan melahirkan dua aliran,
aliran Ahnaf dan Mutakalimin. Adapun yang menjadi sorotan ikhtilaf para fuqaha, sebagian besar adalah ayat-ayat
hukum.
Sejarah menunjukan, kaum muslimin telah menyadari
bahwa kemunduran yang melanda dirinya sendiri merupakan akibat dari perpecahan
umat. Oleh karena itu, mereka mulai menyerukan persatuan dan penyingkiran
sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara penganut satu din, satu
kiblat, dan satu aqidah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh M. Saltout.[6]
Semua ini dapat terlihat, terutama setelah periode
keemasan fiqh. Setelah terlena dan ternina-bobokan oleh perkembangan fiqh yang
begitu pesat, yang akhirnya merasa tidak perlu lagi melakukan pelacakan hukum,
fanatisme muncul sangat kuat, dimana setiap orang untuk mengamalkan ajarannya terpaku pada
madzhab yang dipegangnya.
Rasyid Ridha dalam pengantar buku al-mughni karya Ibnu Qudamah, menyatakan
bahwa “para pengikut madzhab yang fanatik menolak adanya ruang ikhtilaf yang
sebenarnya adalah rahmat. Mereka
mengharamkan pengikut madzhab untuk meniru madzhab lain. Banyak fuqaha Hanafiyah yang mengeluarkan fatwa bahwasannya batal shalat
seseorang yang mengikuti madzhab Hanafi, kemudian dia bermakmum kepada pengikut
madzhab Syafi’i.
E.
METODE IMAM
EMPAT MADZHAB DALAM BIDANG FIQH
1.
Imam Abu
Hanifah
Secara ringkas
madzhab Hanafi yang dikenal dengan aliran akal (ra’yu) mempergunakan
dasar-dasar hukum sebagai berikut:
a)
Kitabullah (Al
Qur’an)
b)
As Sunnah (Al
Hadits)
c)
Atsar-atsar
sahabat yang masyhur dan fatwa-fatwa mereka
d)
Ijma’
(Konsensus Ulama’)
e)
Qiyas (Analogi)
f)
Istihsan
(Menganggap baik sebuah hal)
g)
Urf (Adat
istiadat yang tidak menyimpang syara’)
2.
Imam Malik Ibn
Anas
Adapun madzhab
Maliki terkenal dengan aliran Ahli Hadits (Sunnah) mempergunakan dasar-dasar
hukum sebagai berikut:
a)
Kitabullah (Al
Qur’an)
b)
As Sunnah (Al
Hadits) yang dipandang shahih
c)
Ijma’ (amalan)
Ahli Madinah
d)
Qiyas (Analogi)
e)
Maslahah
Mursalah (kebaikan yang tidak disinggung syara’)
f)
Syadzdzudz
dzari’ah (mencegah dari perbuatan yang menuju haram)
3.
Imam Muhammad
Ibn Idris
Adapun madzhab
Syafi’i terkenal dengan aliran tengah-tengah (moderat) antara nash dan ra’yu
(akal), mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut:
a)
Kitabullah (Al
Qur’an)
b)
As Sunnah (Al
Hadits) yang dipandang shahih
c)
Ijma’
(Konsensus Ulama’)
d)
Qiyas (Analogi)
e)
Istidlal
(mempergunakan dzahir ayat, selama tidak ada dalil yang menunjukkan takwil
ayat)
4.
Imam Ahmad Ibn
Hambal
Adapun madzhab
Hambali terkenal dengan aliran murni nash, mempergunakan dasar-dasar hukum
sebagai berikut:
a)
Kitabullah (Al
Qur’an)
b)
As Sunnah (Al
Hadits)
c)
Fatwa-fatwa
sahabat
d)
Pendapat
sahabat yang tidak diperselisihkan
e)
Qiyas (hanya
dalam posisi dharurat)[7]
F.
PENDAPAT IMAM
EMPAT MADZHAB DALAM BIDANG SELAIN FIQH (FILSAFAT)
1.
Tentang Istawa
(Bersemayam) dzat Allah SWT
Berkata Imam
Abu Hanifah: Dan Allah ta’ala ber istawa atas Arasyükami ( ulama Islam )
mengakui bahawa tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di
atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy,
sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak
mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua
makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka
sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”.
Abu Nu’aim juga
menuturkan dari berkata, ‘Cara Allah beristiwa’üJa’far bin Abdillah, Imam Malik
tidaklah dapat dicerna dengan akal, sedangkan istiwa’ (bersemayam) itu sendiri
dapat dimaklumi maknanya. Sedangkan kita wajib mengimaninya, dan menanyakan hal
itu adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah itu. Kemudian Imam Malik
menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau”.
Imam Asy Syafi’i
namun tidak samaüberpendapat bahwa Allah bersemayam di atas arsy, dengan apa
yang dipikirkan manusia, seperti dalam QS. Al Hadid: 4.
2.
Tentang
Kenabian
Imam Asy
Syafi’i berkata bahwa makhluk pilihan dan menitipkanüAllah SWT menjadikan para
Nabi sebagai wahyu untuk disampaikan dalam menegakkan hujjah kepada manusia.
Jelaslah bahwa dari pendapat ini beliau menolak Ar Razi yang meniadakan adanya
nubuwwah kenabian (dengan alasan: akal telah mampu membedakan baik dan buruk,
semua manusia sama –jadi tidak ada pengistimewaan-, jika Nabi sama-sama
berdakwah atas nama Tuhan, mengapa ajaran mereka berbeda?)
3.
Tentang Dzat
dan Sifat Allah
Imam Syafi’i
sangat konsisten memiliki sifat, baik yang Ia sifatkan dengan manhaj salaf.
Bahwa Allah pada dirinya sendiri, dan melalui Nabi-Nya tanpa takwil dan
tasybih. Dari pendapat ini jelas bahwa beliau menolak adanya Emanasi, sebab
dengan hal itu akan maniadakan status antara pencipta dan yang diciptakan.
4.
Tentang Wujud
Allah SWT
Al Imam Abu
Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata: “Allah ta’ala ada pada
azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum
menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia
pencipta segala sesuatu. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya
Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula
akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya”.
Asy Syafi’i
berkata: aku pernah beliau menunjukkan jalan taubatüberjumpa 17 orang
dzindiq, sehingga kepada mereka dengan memberikan dalil tentang wujud Allah
dari buah pohon Thut. Bila dimakan kambing akan menjadi kotoran, bila dimakan
lebah menjadi madu, bila dimakan ulat menjadi sutera, siapa yang menjadikan
semuanya itu bila bukan dzat yang Maha Kuasa, yakni Allah SWT”.
Asy Syafi’i
juga memberikan tiga melalui: fitrah manusia sebagai makhluk,üdalil tentang
wujud Allah SWT melalui ayat-ayat kauniyah (alam), dan melalui ayat-ayat inayah
(nash)
Imam “Imam Abu
Daud juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi’, katanya: Malik berkata, Allah
di langit, dan ilmu (pengetahuan) Allah meliputi setiap tempat”.
5.
Tentang bahwa
Al Qur’an bukanlah Makhluk
Imam Hanbali
adalah Ulama paling adalah kalamulloh dan bukan makhluk,ükeras menentang bahwa
Al Qur’an sehingga beliau dipenjara.
Imam Syafi’i
mengkafirkan para pemikir (filosof) yang menyatakan bahwa Al Qur’an adalah
makhluk, seperti Hafs Al Fard.
Imam Ibn Abdil
Bar meriwayatkan “Imam Malik bin Anas mengatakan,dari Abdullah bin Nafi’,
katanya: siapa yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk dia harus dihukum
cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat.
6.
Tentang Iman
Imam Malik
berkata bahwa Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.
Imam Syafi’i
berkata bahwa juga sependapat bahwa iman adalah perbuatan dan perkataan, dapat
berkurang dan bertambah.
7.
Perbedaan
Argumen dengan Kaum Rasionalis dan Filosof
Perbedaan
antara kaum ulama dengan kaum filosof atau rasionalis sudah terjadi sejak islam
terpecah manjadi banyak golongan. Antara lain pemikiran kaum filosof ini
dipelopori oleh Mu’tazillah yang disokong resmi oleh negara.
Imam Asy
Syafi’i dalam kitab Ar Risalahnya menyindir kaum filosof sebagai makhluk yang
tidak tahu diri, alias tidak punya sopan santun terhadap Tuhan, digambarkan
sebagai cerita Bogok dan Rasyid, seperti sifat Bani Israil yang terdapat dalam
QS. Al Baqarah:55.
Artinya : “Dan
ingatlah ketika kamu (Bani Israil) berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang“
Begitu pula
madzhab Imam Hanbali yang mempunyai sikap antipati terhadap kaum filosof dan
rasionalis, hingga kekhalifahan Al Mutawakkil beliau hidup dalam pengawasan
ketat negara. Ulama-ulama madzhab empat (madzhab Ahlussunnah wal Jamaah) juga
banyak yang menentang para filosof yang terlampau mengandalkan akal mereka
saja. Bukannya mereka (para ulama) menetang pemakaian akal, namun otoritas akal
adalah di bawah nash Al Qur’an dan As Sunnah. Sesuai dengan qoidah iltizam
(komitmen) terhadap Al Qur’an dan Al Hadits. Adapun secara garis besar pendapat
dari mereka adalah:
a.
Allah memiliki
sifat dan sifat itu berbeda dengan dzat-Nya
b.
Allah tidak
berjism dan tidak bertempat
c.
Al Qur’an bukan
makhluk tapi merupakan kalam rabb yang qodim[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Menjadikan perbedaan sebagai rahmat
2.
Proses lahirnya madzhab pada dasarnya adalah usaha
para murid yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat
dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam madzhab, sehingga
memudahkan tersebarnya dikalangan masyarakat
karena imam madzhab tersebut
tidak mengklaim sebagai madzhab.
3.
Dalam perkembangannya ada tiga madzhab besar yang ada
sampai sekarang, yaitu Sunni, Syi’ah, dan Khawarij.
4.
Hikmah perbedaan pendapat, pada dasarnya adalah sebuah
sunnatullah, yang tidak bisa dihindari karena berbagai faktor.
5.
Dalam Agama Islam, al-Qur'an dan Hadits merupakan
sumber pokok dalam menetapkan hukum. Apabila tidak ditemukan dari keduanya,
maka dibutuhkan ijtihad seorang ulama.
6.
Hukum-hukum yang diperoleh dari ijtihadnya ulama bisa
disebut dengan madzhab. Akan tetapi, beliau melanjutkan bahwa hanya
empat madzhab saja yang terus berkembang dan mendapat dukungan dari ulama yang
lainnya. Sedangkan madzhab-madzhab yang lainnya cenderung berkurang dukungannya
sepeninggal penyusunnya.
B.
SARAN
Semoga apa yang penulis uraikan diatas, dapat menambah
sedikit wawasan kepada temen-temen mahasiswa, dan saya berharap teman-teman
tidak merasa puas dengan apa yang sudah penulis paparkan. Sehingga teman-teman
mau menggali kembali materi tentang
mazhab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ab Luwis Ma’luf.1986.”Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al’alam”. Beirut Dar Al-Musyriq
Huzaimah Tahido Yanggo, 1997.
“Pengantar Perbandingan Madzhab”. Jakarta: Logos
Supriyadi, Dedi.2008.“Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru”, (Bandung: Pustaka Setia
Supriyadi,Dedi.1995.
“Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf Imam Madzhab Fiqh Perspektif Perbandingan Madzhab”(skripsi). Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung DJati Bandung
https://nafisatun2109.wordpress.com/2014/05/26/madzhabillah-arbaah/amp/ Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2019 Pukul 13.45 WIB
http://bachrudinalfarisi.blogspot.com/2014/04/madzahibul-arbaah_6.html?m=1 Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2019 Pukul 19.00 WIB
http://mpdaaruttholabah79.blogspot.com/2016/05/mengenal-imam-madzhab-madzahibul-arbaah.html?m=1 Dikases Pada Tanggal 19 Oktober 2019 Pukul 17.00
[1] Al-Ab Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al’alam,
1986, Beirut Dar Al-Musyriq, hal. 239-240
[3] Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan
Baru, (Bandung: Pustaka Setia 2008), Halaman 51
[4] https://nafisatun2109.wordpress.com/2014/05/26/madzhabillah-arbaah/amp/
Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2019 Pukul 13.45 WIB
[5] Dedi Supriyadi, Rekonstruksi Tradisi
Ikhtilaf Imam Madzhab Fiqh Perspektif Perbandingan Madzhab, (skripsi), 1995,
Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung DJati Bandung, hlm. 152.
[6] http://bachrudinalfarisi.blogspot.com/2014/04/madzahibul-arbaah_6.html?m=1
Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2019 Pukul 19.00 WIB
[7] http://mpdaaruttholabah79.blogspot.com/2016/05/mengenal-imam-madzhab-madzahibul-arbaah.html?m=1
Dikases Pada Tanggal 19 Oktober 2019 Pukul 17.00
[8] http://mpdaaruttholabah79.blogspot.com/2016/05/mengenal-imam-madzhab-madzahibul-arbaah.html?m=1 Dikases Pada
Tanggal 19 Oktober 2019 Pukul 17.00
0 komentar: