makalah pengantar hukum islam tentang manusia dan agama
MAKALAH PENGANTAR HUKUM ISLAM
MANUSIA DAN AGAMA
Oleh Juniska
SKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
STAI AS-SHIDDIQIYAH
TAHUN AKADEMIK 2013 /2014
I.
PENDAHULUAN
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang
memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur
akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink,
naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa
aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan
(melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda
dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif
atau implusif (seperti berzina, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau
menggunakan narkoba dan main judi).Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam
arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila
nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan
mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan
hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Untuk
mengkaji masalahan yang terdapat dalam makalah “Manusia dan Agama” ini,
kelompok kami akan membuat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas:
1. Pengertian
manusia
2. Hakekat manusia
3. Pengertian
agama
4. Karateristik
agama
5. Hubungan agama
dengan manusia dalam kehidupan
III.
PEMBAHASAN
A.
MANUSIA
1. Pengertian Manusia dalam Alqur’an
Quraish
Shihab mengutip dari Alexis Carrel dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak
kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia, karena
keterbatasan-keterbatasan manusia sendiri.
Istilah
kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia
menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan ann-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali.
Kata basyar menunjuk pada pengertian
manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi
pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual
dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali
dalamAl-Qur’an yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan
khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzab [3]:72), kedua al-insan dihubungankan dengan predisposisi negatif dalam diri
manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al-Ma’arij [70]:19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan
proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS Al-Hijr
[15]:28-29). Semua konteks al-insan ini
menunjuk pada sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam
Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial dengan karateristik
tertentu misalnya mereka mengaku beriman padahal sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah
[2]:8)[1][1]
Dari
uraian ketiga makna untuk manusia tersebut, dapatdisimpulkan bahwa manusia
adalah mahkluk biologis,psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan
diperhatikan hak maupun kewajibannya secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum
yang berlaku (sunnatullah).[2][2]
2. Tujuan
Penciptaan Manusia
Kata “Abdi” berasal dari kata bahasa Arab yang artinya
memperhambakan diri, ibadah (mengabdi/memperhambakan diri). Manusia diciptakan
oleh Allah agar ia beribadah kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini tidak
sesempit pengertian ibadah yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni
kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji tetapi seluas pengertian yang
dikandung oleh kata memperhambakan dirinya sebagai hamba Allah. Berbuat sesuai dengan kehendak dan
kesukaann (ridha) Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya.[3][3]
3.
Fungsi dan Kedudukan Manusia
Sebagai orang yang beriman kepada Allah, segala
pernyataan yang keluar dari mulut tentunya dapat tersingkap dengan jelas dan
lugas lewat kitab suci Al-Qur’an sebagai satu kitab yang abadi. Dia menjelaskan
bahwa Allah menjadikan manusia itu agar ia menjadi khalifah (pemimpin) di atas
bumi ini dan kedudukan ini sudah tampak jelas pada diri Adam (QS Al-An’am
[6]:165 dan QS Al-Baqarah [2]:30) di sisi Allah menganugerahkan kepada manusia
segala yang ada dibumi, semula itu untuk kepentingan manusia (ia menciptakan untukmu seluruh apa yang ada
dibumi ini. QS Al-Baqarah [2]:29). Maka sebagai tanggung jawab kekhalifahan
dan tugas utama umat manusia sebagai makhluk Allah, ia harus selalu
menghambakan dirinyakepada Allah Swt.
Untuk mempertahankan posisi manusia tersebut, Tuhan menjadikan
alam ini lebih rendah martabatnya daripada
manusia. Oleh karena itu, manusia diarahkan Tuhan agar tidak tunduk
kepada alam, gejala alam (QS Al-Jatsiah [45]:13) melainkan hanya tunduk
kepada-Nya saja sebagai hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56). Manusia harus
menaklukanya, dengan kata lain manusia harus membebaskan dirinya dari mensakralkan
atau menuhankan alam.
Jadi dari uraian tersebut diatas bisa ditarik kesimpulan secara
singkat bahwa manusia hakikatnya adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial
yang memiliki dua predikat statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah (QS
Al-Dzarait [51]:56) dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah (QS Al-Baqarah [2]:30); al-An’am [6]:165), mengantur
alam dan mengelolanya untuk mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu
sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah.
B.
HAKEKAT MANUSIA
Hakekat manusia adalah
sebagai berikut :
1.
Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2.
Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas
tingkah laku intelektual dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan
yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya serta mampu menentukan
nasibnya.
3.
Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak
pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
4.
Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha
untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih
baik untuk ditempati
5.
Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan
ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
6.
Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan
baik dan jahat.
7.
Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan
sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya
tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
8.
Makhluk yang berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya berarti
mencari jawaban, mencari jwaban berarti mencari kebenaran.[4][4]
1.
Hakikat Manusia Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an memandang manusia
sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan
penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal
manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan
Adam dan istrinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah
pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk
surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci
dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan
dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini.
Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah
berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat,
fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di
dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu . Sungguhpun
demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu
selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal
tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa
menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan
pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu,
kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan
bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur’an
tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teorisuperego yang dikemukakan oleh sigmund Freud,
seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan
tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang
sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan
melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau
pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi
terhadap ego manakala
instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang
beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan
hakikat manusia itu sendiri.
2. Hakekat Manusia (Menurut Islam - Mohammad Sholihuddin, M.HI)
Manusia terdiri dari sekumpulan
organ tubuh, zat kimia, dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat
dan materi Secara Spiritual manusia adalah roh atau jiwa. Secara Dualisme
manusia terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dann ruhani (Jasad dan roh).
Potensi dasar manusia menurut jasmani ialah kemampuan untuk bergerak dalam
ruang yang bagaimanapun, di darat, laut maupun udara. Dan jika dari Ruhani,
manusia mempunyai akal dan hati untuk berfikir(kognitif),
rasa(affektif), dan perilaku(psikomotorik). Manusia diciptakan dengan untuk
mempunyai kecerdasan.[5][5]
C. AGAMA
1.
Pengertian Agama
Kata agama
dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan “din”
dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa Inggris “religion”. Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun.
Sedangkan kata “din” menyandang arti
antara lain menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan.
Secara istilah
(terminologi) agama, seperti ditulisoleh Anshari bahwa walaupun agama, din, religion, masing-masing mempunyai
arti etimologi sendiri-sendiri, mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri,
namun dalam pengertian teknis terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai
makna yang sama, yaitu:
a. Agama, din, religion
adalah satu sistem credo (tata
keimanan atau tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak diluar diri manusia;
b.
Agama juga adalah sistem ritus
(tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut.
c. Di samping
merupakan satu sistema credo dan satu
sistema ritus, agama juga adalah satu
sistem norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia
sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan
dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub diatas.
Menurut Durkheim, agama adalah
sistem kepercayaan dan praktik yang dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal
yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang Maha
Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama adalah pencarian manusia
terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat
mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang
hebat.
Dengan demikian, mengikuti pendapat
Smith, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa hingga saaat ini belum ada
definisi agama yang benar dan dapat ditarima secara universal.[6][6]
2. Syarat-Syarat
Agama
a. Percaya
dengan adanya Tuhan
b. Mempunyai
kitab suci sebagai pandangan hidup umat-umatnya
c. Mempunyai
tempat suci
d. Mempunyai Nabi
atau orang suci sebagai panutan
e. Mempunyai
hari raya keagamaan
3.
Unsur-Unsur Agama
Menurut Leight, Keller dan Calhoun,
agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
1. Kepercayaan
agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
2. Simbol
agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3. Praktik
keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan
hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agam.
4. Pengalaman
keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh
penganut-penganut secara pribadi.
5. Umat
beragama, yakni penganut masing-masing agama
4. Fungsi Agama
· Sumber pedoman hidup bagi
individu maupun kelompok
· Mengatur tata cara hubungan
manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
· Merupakan tuntutan tentang
prinsip benar atau salah
· Pedoman mengungkapkan rasa
kebersamaan
· Pedoman perasaan keyakinan
· Pedoman keberadaan
· Pengungkapan estetika
(keindahan)
· Pedoman rekreasi dan
hiburan
D. KARATERISTIK AGAMA
Karakteristik
agama dalam kehidupan manusia seperti halnya bangunan yang sempurna. Seperti
dalam salah satu sabda nabi Muhammmad,bahwa beliau adalah penyempurna bangunan
agama tauhid yang telah dibawa oleh para nabi dan rosul sebelum kedatangan
beliau.
Layaknya sebuah
bangunan agamapun harus memiliki rangka yang kokoh, tegas, dan jelas. Rangka
yang baik adalah rangka yang menguatkan bangunan yang akan dibangun diatasnya.
Memiliki ukuran yang simetris satu sama lainnya. Komposisi bahan yang tepat
karena berperan sebagai penopang. Oleh sebab itu, kerangka harus memiliki luas
yang cukup atau memiliki perbandingan yang sesuai dengan bangunannnya. Itulah
sebaik-baiknya agama dengan demikian agama pada dasarnya berperan sebagai
pedoman kehidupan manusia, untuk menjalani kehidupannya dibumi. Manusia akan
kehilangan pedoman atau pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia bila tidak
berpedoman pada agama. Dewasa ini agama mengalami beralih dan berpedoman kepada
akal logikanya. Padahal akal dan logika manusia memiliki keterbatasan yaitu
keterbatasan melihat masa depan. Sedangkan agama telah disusun sedemikian rupa
oleh sang pencipta agar menjadi pedoman sepanjang hayat manusia. Akibat dari
skularisme ini mnimbulkan gaya hidup baru bagi kaum muslim yakni gaya hidup
hedomisme dan pragmatis.
Adapun karakteristik agama pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Agama adalah
suatu sistem tauhid atau sistem ketuhanan(keyakinan) terhadap eksistensi suatu
yang absolut(mutlak), diluar diri manusia yang merupakan pangkal pertama dari
segala sesuatu termasuk dunia dengan segala isinya.
2. Agama merupakan
sistem ritual atau peribadatan(penyembahan) dari manusia kepada suatu yang
absolut.
3. Agama adlah
suatu sistem nilai atau norma (kaidah) yang menjadi pola hubungan manusiawi
antara sesama manusia dan pola hubungan dengan ciptaan lainnya dari yang
absolut.
E. HUBUNGAN
AGAMA DENGAN MANUSIA DALAM KEHIDUPAN
Agama
dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan dan
sistem budaya umat manusia. Sejak awal manusia berbudaya, agama dan kehidupan
beragama tersebut telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan
bentuk dari semua perilaku budayanya. Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan
berkembang dari adanya rasa ketergantungan manusia terhadap kekuatan goib yang
mereka rasakan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka harus berkomunikasi
untuk memohon bantuan dan pertolongan kepada kekuatan gaib tersebut, agar
mendapatkan kehidupan yang aman, selamat dan sejahtera. Tetapi “apa” dan
“siapa” kekuatan gaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut,
dan bagaimana cara berkomunikasi dan memohon peeerlindungan dan bantuan tersebut,
mereka tidak tahu. Mereka hanya merasakan adanya da kebutuhan akan bantuan dan
perlindunganya. Itulah awal rasa agama, yang merupakan desakan dari dalam diri
mereka, yang mendorong timbulnya perilaku keagamaan. Dengan demikian rasa agama
dan perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari
kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan “fitrah” manusia. [8][8]
1. Perkembangan
Agama Dan Kehidupan Budaya Manusia
Pada
tahap awalnya nampak bahwa agama mendominasi kehidupan budaya masyarakat,
kemudian dengan adanya perkembangan akal dan budidaya manusia, maka mulai
nampak gejala terjadinya proses pergeseran dominasi agama tersebut, yang pada
giliran selanjutnya tersingkirkan dalam kehidupan budaya suatu masyarakat.
Namun demikan dengan tersingkirnya dominasi agama itu, maka pertumbuhan dan
perkembangan sistem budaya dan peradaban manusia nampak menjadi kehilangan arah
dan tujuannya yang pasti, sehingga mereka memerlukan lagi terhadap agama, bukan
sebagai yang mendomianasi, tetapi sebagai petunjuk da pengarah kehidupan
mereka.
Perkembangan
agama dan kehidupan budaya umat manusia dalam proses sejarah yang panjang
tersebut dapat dilihat secara selintas pada pertumbuhan dan perkembangan manusia
secara individual. Pada tahap awalnya kehidupan manusia diliputi oleh
ketidak-tahuan dan ketidak-berdayaan, sehingga sifat ketergantungan pada orang
tua (yang memelihara) sangat menonjol. Setelah akal fikiran dan kemampuan
budidayanya tumbuh dan berkembang, maka sifat ketergantungan itu semakin
berkurang, dan setelah menginajak dewasa sifat kemandiriannya inilah manusia
memerlukan adanya pedoman hidup, karena tanpa pedoman/tujuan yang pasti, maka
kemandirian akan menimbulkan kekacauan dan malapetaka dalam kehidupan manusia.
Kemudian pada masa tua, dimana kemampuan akal fikiran dan budidaya manusia
sudah mulai berkurang, maka manusia memerlukan kembali tempat bergantung yang
pasti sebagai tempat kembali.
Kalau
di hubungkan dengan hukum perkembangan, ketiga tahap perkembangan jiwa atau
masyarakat/budaya manusia itu adalah pada tahap awal (masa kanak-kanak) disebut
dengan tahap teologik, fiktif; masa remaja (masa tumbuh dan
berkembangnya pemikiran abstrak) sebagai tahap metafisik atau abstrak; dan
masa dewasa sebagai tahap positif atau
riil. Sedangkan masa tua sebagai
kelanjutan perkembangan lebih lanjut dari tahap positif atau riil tersebut.[9][9]
IV. KESIMPULAN
Manusia hakikatnya adalah makhluk biologis,
psikolsogi dan sosial yang memiliki dua predikat statusnya dihadapan Allah
sebagai Hamba Allah dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah), mengantur alam dan mengelolanya untuk mencapai
kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan tetap
tunduk dan patuh kepada sunnatullah. Rasa agama dan perilaku keagamaan (agama
dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan
istilah lain merupakan “fitrah” manusia.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang
dapat kami paparkan tentang hukum syar’i, semoga bermanfa’at bagi pembaca pada
umumnyadan pada kami pada khususnya. Dan tentunya makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan, guna memperbaiki
makalah selanjutnya.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Fathoni Ahmad
Miftah Drs., M.Ag, Pengantar Studi Islam, 2001, Semarang, Gunung Jati.
Supadie Didiek Ahmad,dkk. Pengantar
Studi Islam, 2011 , Jakarta, Rajawali Pers.
Muhaiman Dimensi-Dimensi
Studi Islam, 1994, Surabaya,Karya Abditama
Syukur Amin Prof. Dr. H. M., MA, Pengantar
Studi Islam, 2010, Semarang, Pustaka Nuun
[1][1]
Didiek Ahmad Supadie,dkk. Pengantar Studi
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), hlm:137-138
[3][3]
Didiek Ahmad Supadie,dkk. Pengantar Studi
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 143
[4][4]
Drs.Miftah Ahmad Fathoni, M.Ag, Pengantar Studi Islam, (Semarang:Gunung
Jati),2001,hlm:18
[6][6]
Didiek Ahmad Supadie,dkk. Pengantar Studi
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 35-36
[7][7] Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA,
Pengantar Studi Islam, (Semarang:Pustaka Nuun), 2010, hlm:26-29
[8][8]
Muhaiman dkk, Dimensi-Dimensi Studi Islam,
(Surabaya: Karya Abditama, 1994), hlm. 29
0 komentar: